Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dalai Lama, Deddy Corbuzier, dan Bahaya Etnosentrisme

14 April 2023   14:08 Diperbarui: 14 April 2023   14:21 3367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika aku menghakimi tindakan individu warga entitas lain berdasar  norma sosial yang berlaku dalam entitasku, maka aku mungkin sedang  menegakkan ketidak-adilan. -Felix Tani

Sedang viral video yang menunjukkan Dalai Lama,  Tenzin Gyatso pemimpin spritual Buddha Tantrayana Gelug Tibet berpelukan, berciuman sentuh bibir, dan saling julur lidah pada posisi dahi beradu.

Menurut pemberitaan The Guardian (theguardian.com, 10/4/2023) peristiwa itu terjadi di vihara Dalai Lama di Dharamshala, India dalam pertemuan dengan 100 orang pelajar muda yang baru lulus dari Yayasan M3M India.

Dikabarkan, juga disiarkan, seorang anak laki-laki minta untuk memeluk Dalai Lama (87 tahun). Lalu Dalai Lama mempersilahkan anak itu memeluk dirinya dan mencium pipinya, lalu mencium sentuh bibir, dan akhirnya minta untuk menghisap lidahnya. 

Dalam video yang beredar, pada posisi beradu dahi, terlihat anak itu hanya menjulurkan lidah dengan cepat tanpa menyentuh lidah Dalai Lama yang sudah dijulurkan lebih dulu.  Memang Dalai Lama berucap "hisaplah lidahku", tapi faktanya kedua ujung lidah mereka bahkan tak bersentuhan.

Video itu langsung viral dan mengundang kontroversi. Berbagai kalangan mengecamnya dan menyatakan tindakan Dalai Lama itu sebagai "pelecehan anak" yang tak sepatutnya, memalukan, dan menjijikkan. Bahkan ada yang mengatakan itu ekspresi pedofilia.

Di Indonesia tindakan Dalai Lama itu mendapat kecaman keras juga, salah satunya dari podcaster Deddy Corbuzier.  Deddy secara eksplisit menyatakan tindakan Dalai Lama itu pelecehan seksual terhadap anak. Menurutnya itu suatu tindakan instingtif yang tak bermoral, bersifat memaksa terhadap anak kecil dan, karena itu, salah. 

Merespon banjir kecaman itu, Kantor Dalai Lama kemudian merilis permohonan maaf resmi atas kejadian itu.  Dikatakan bahwa Dalai Lama meminta maaf kepada anak itu dan keluarganya, serta para sahabatnya di seluruh dunia, atas luka yang mungkin disebabkan kata-katanya. 

Waspadai Bahaya Etnosentrisme

Pandangan Deddy Corbuzier barangkali bisa mewakili, atau mungkin mempengaruhi, pandangan umum di Indonesia tentang tindakan Dalai Lama itu. Terlepas apakah pandangan itu sesuai atau tidak dengan motif subyektif di balik tindakan Dalai Lama. Simak video YouTube Deddy Corbuzier berikut.


Jika dibaca komentar-komentar atas unggahan konten Deddy itu, maka tampak kecenderungan untuk  mendukung atau sepakat dengan penilaian Deddy. Penilaian bahwa  Dalai Lama melakukan pelecehan seksual kepada anak kecil, suatu tindakan instingtif yang tak bermoral dan, karena itu, salah.

Dari perspektif pejuang keadilan sosial (social justice warrior), boleh jadi penilaian Deddy dianggap sebagai pengungkapan kebobrokan moral Dalai Lama pada statusnya sebagai tokoh Buddha. KontenDeddy boleh jadi dianggap sebagai keberanian dan, karena itu, heroik.

Tapi, sekadar bertanya kritis, dari sisi logika penarikan kesimpulan, apakah penilaian Deddy itu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya?

Ada indikasi bahwa penilaian Deddy mengandung cacat logika (logical fallacy) yang berakar pada sikap etnosentrisme. Etnosentrisme adalah penilaian atau penarikan kesimpulan atas perilaku (pikiran, perkataan, dan tindakan) individu dari entitas budaya lain berdasarkan ukuran-ukuran normatif dari entitas budaya sendiri atau dari entitas budaya luas (nasional, regional, internasional). 

Ringkasnya, etnosentrisme itu berarti menilai tindakan orang lain dari posisi sebagai "orang luar", menggunakan perspektif yang diyakini sendiri, tanpa mempertimbangkan perspektif pelaku tindakan itu (sebagai "orang dalam").

Ada dua hal penting yang diabaikan Deddy ketika menyimpulkan tindakan Dalai Lama sebagai bentuk pelecehan seksual terhadap anak laki-laki secara terbuka di ruang publik.

Pertama, Deddy merujuk hanya pada satu klip video pendek yang hanya menampilkan momen pelukan,  cium sentuh bibir, dan saling unjuk lidah antara Dalai Lama dan seorang anak laki-laki. 

Dari video klarifikasi yang kemudian beredar, sangat jelas video itu telah diedit dari sebuah rekaman video yang lebih lengkap. Pengeditan semacam itu adalah kekerasan atau kejahatan terhadap data.

Untuk mengetahui peristiwa dan konteks secara lebih utuh,  silahkan cermati unggahan konten YouTube JigJag berikut.


Klip video yang juga disertakan Deddy dalam konten YouTube-nya telah menutupi  peristiwa dan konteks seutuhnya. Juga terkesan dibuat dan diedarkan untuk menggiring opini publik bahwa Dalai Lama telah melakukan pelecehan seksual terhadap anak laki, pedofil, dan immoral.

Bagaimanapun, menarik kesimpulan dari sebuah informasi yang tak utuh, apalagi sudah diedit, sangat mungkin akan berujung pada kesalahan atau bahkan fitnah dan penistaan. Ada indikasi kesimpulan Deddy telah ikut tergiring ke ranah kesalahan itu. Atau, dengan kata lain, kesimpulan itu cacat logika karena ketidak-cukupan (unsufficient) dan ketak-jujuran (invalidity) informasi.

Kedua, Deddy telah mencabut klip video (peristiwa) dari konteks spesifiknya yaitu kultur Tibet dan, lebih spesifik lagi, sub-kultur entitas Buddha Tantrayana Gelug. 

Lalu untuk kepentingan tafsir atau penilaiannya sendiri, informasi peristiwa yang telah diedit itu diletakkannya dalam konteks kultur luas (dunia) yaitu nilai-nilai anti-pelecehan seksual yang "diterima secara luas" oleh bangsa-bangsa. Sambil melupakan fakta nilai-nilai anti-pelecehan seksual itu berakar pada kultur barat modern.

Tafsir Deddy atas tindakan Dalai Lama dengan demikian sebenarnya  telah bias kultur barat yang kemudian diklaim sebagai kultur dunia. Ketika konteks besar (dunia) digunakan untuk menilai konteks kecil (entitas Budha Tantrayana Gelug), maka yang terjadi adalah "kekalahan" (baca: kesalahan) pada konteks kecil. Ini lazim disebut sebagai cacat logika tipe tirani (pendapat) mayoritas (appeal to popularity ataupun bandwagon).

Secara keseluruhan, dalam khasanah metode analisis, catat logika pada kesimpulan Deddy itu dijenal sebagai cacat etnosentrisme. Menganggap tindakan orang lain buruk karena tak sesuai dengan nilai-nilai yang kuanut -- entah itu nilai-nilai kelompokku atau masyarakat luas.

Cacat etnosentrisme semacam itu, karena menyimpulkan secara bias nilai budaya, jelas mengandung bahaya yang  merugikan pihak yang dinilai.  Dalam kaitan eksistensi Dalai Lama dan Buddha Tantrayana Gelug, setidaknya dapat terjadi kerugian berikut.

Pertama, mendiskreditkan, menistakan, atau bahkan kriminalisasi sosok Dalai Lama selaku pemimpin spritual Buddha yang kharismatik, humanis, dan dihormati dunia. Jika hal itu bukan sebuah kebenaran, maka menyimpulkan Dalai Lama sebagai pelaku pelecehan seksual, pedofilia, dan immoral adalah perbuatan keji, jahat, dan immoral.  

Hal keji semacam itu hanya mungkin dilakukan pihak yang memusuhi dan ingin menjatuhkan pamor Dalai Lama. Pemerintah Cina mungkin bisa menjadi pihak yang tega melakukan itu, mengingat kerasnya perlawanan Dalai Lama dari pengasingan terhadap pendudukan Cina atas Tibet.

Kedua, mendiskreditkan Buddha Tantrayana Gelug sebagai mazhab Buddha yang permisif terhadap tindak pelecehan seksual yang dilakukan oleh para rahib atau pimpinan spritualnya. 

Dikatakan begitu karena peristiwa Dalai Lama memeluk, cium sentuh-bibir, dan saling unjuk-lidah itu terjadi di ruang umum, dalam sebuah pertemuan resmi, ketika Dalai Lama memberi wejangan kepada lulusan  Yayasan M3M India.

Bayangkan kerusakan yang akan dialami Dalai Lama dan Buddha Tantrayana Gelug Tibet jika kesimpulan "Dalai Lama pelaku pelecehan seksual di lingkungan umat" diterima sebagai kebenaran.

Pertimbangkan Motif Subyektif para Pelaku

Untuk bersikap adil dan logis, secara sosiologis suatu tindakan sosial harus ditafsir atau dinilai dari perspektif subyek pelaku (M. Weber). Tepatnya dengan mengungkap motif subyektif para pelaku. Dan itu berarti mempertimbangkan nilai-nilai atau norma sosial yang berlaku sebagai tuntunan perilaku dalam entitas sosial tempat pelaku berada.

Jika merujuk pada tipe ideal Weber, maka motif subyektif di balik sebuah tindakan sosial bisa saja motif rasional instrumental (cari untung), rasional nilai (altruisme), afeksi (cinta/benci), atau tradisi (nilai turun-temurun).

Jika merujuk pada informasi konten video YouTube JigJag di atas, juga pada unggahan video lain yang menunjukkan respon sangat positif dari anak yang dipeluk dan dicium Dalai Lama serta ibundanya (hadir saat peristiwa itu), maka motif tindakan Dalai Lama sangat mungkin adalah afeksi, pernyataan cinta-kasih, penyemangatan, dan pengharapan kepada anak lelaki itu. 

Tentu ada unsur altruisme dan tradisi juga di situ. Mengingat tindakan itu dilakukan oleh seorang Dalai Lama yang sangat dipercaya dan dihormati, dalam konteks tradisi kultural (salam unjuk ludag) khas Tibet atau Buddha Tantrayana Gelug Tibet.

Video kesaksian anak lelaki itu dan ibunya justru menggambarkan kegembiraan, kebanggaan,  kebahagiaan, dan kehormatan atas interaksi akrab dan indah dengan Dalai Lama. Simak kesaksian mereka berikut ini (YouTube Dri Choeden)


Sebagai "orang luar" -- seorang Katolik yang mencoba mengenal Buddha agar bisa menghargainya -- saya telah menonton lagi dan lagi video versi asli  yang disajikan YouTube JigJag di atas. Lalu berusaha memahaminya secara verstehen,  dari sisi pandang "orang dalam".

Satu hal yang menarik, inisiatif untuk pelukan (dan kemudian direspon Dalai Lama dengan cium sentuh bibir serta saling unjuk lidah) itu datang dari anak kelaki tersebut. Dia minta izin untuk memeluk Dalai Lama. Dalai Lama sendiri tak paham ucapan (Bahasa Inggris) anak itu. Sehingga dua orang stafnya harus menerjemahkan keinginan anak tersebut.

Anak itu kemudian berpelukan dan adu pipi kanan dengan Dalai Lama. Lalu dilanjutkan dengan cium sentuh bibir dan saling julur lidah, khas Tibet, atas inisiatif Dalai Lama sendiri. 

Saya coba amati ekspresi dan gestur Dalai Lama sepanjang kejadian itu.  Saya tidak menemukan satu unsur ekspresi atau gestur pun pada Dalai Lama yang mengisyaratkan pelepasan hasrat seksual. Tidak, tidak satupun. 

Saya justru mendapat kesan mendalam bahwa Dalai Lama sedang menyatakan kasih dan harapan baiknya kepada anak lelaki itu. Memang ada ujaran "and suck my tongue" yang kemudian menjadi kontroversi, karena dianggap pelecehan seksual secara verbal. Ada yang bilang, Dalai Lama bukan bilang "suck" (hisap), tapi "stuck" (julurkan). Tapi saya sendiri mendengar kata "suck".

Faktanya Dalai Lama dan anak laki itu hanya saling julur lidah pada posisi dahi beradu, simbol kedekatan atau keakraban. Cara adu dahi itu sering, terlalu sering bahkan, dilakukan Dalai Lama kepada orang-orang dari berbagai kalangan. Anak itu tidak benar-benar menghisap lidah Dalai Lama. Dalai Lama juga tak menyorongkan lidahnya agar menyentuh lidah anak itu.

Tentang ujaran "and suck my tongue", saya punya tafsir lain yang bisa diperdebatkan. Sangat mungkin itu semacam idiom khas Dalai Lama untuk mengatakan "camkanlah perkataanku". Sebab dia kemudian menasihati anak itu agar  "... melihat pada mereka yang menciptakan perdamaian dan kebahagiaan dan jangan mengikuti manusia yang selalu membunuh sesamanya."

Apakah anak lelaki itu tertekan oleh sikap, perkataan, dan tindakan Dalai Lama? Saya tak melihat ekspresi tertekan. Sebaliknya justru ekspresi kekaguman dan kebahagiaan. Dia memang terlihat canggung. Bisalah dipahami karena dia bertatap muka langsung  dengan Dalai Lama, seorang tokoh besar Budha, warga "kelas dunia".

Jadi secara verstehen, berdasarkan informasi yang tersedia di internet -- dan juga diskusi dengan rekan-rekan Buddhis di WAG -- saya tak bisa tiba pada kesimpulan bahwa Dalai Lama telah melakukan tindakan immoral berupa pelecehan seksual kepada seorang anak  laki-laki.

Wasanakata

Apakah saya hendak menyalahkan Deddy Corbuzier dan jutaan orang yang mungkin sependapat dengannya? Atau apakah saya hendak membenarkan tindakan Dalai Lama dan penjelasan para pendukungnya?

Point saya bukan di situ. Point saya adalah untuk mengingatkan agar menghindari sikap etnosentris dalam menilai perilaku pihak lain. Jangan menggunakan ukuran kultur sendiri atau kultur dunia untuk menilai perilaku individu atau kelompok  dari kultur lain yang berbeda. 

Etnosrntrisme semacam itu dapat berujung pada pendiskreditan, atau fitnah dan penistaan, seseorang atau suatu kelompok sosial. Saya khawatir Dalai Lama dan entitas Buddha Tantrayana Gelug Tibet sedang berada dalam posisi ketakadilan semacam itu.

Lalu mengapa Dalai Lama mohon maaf kalau dia dan umatnya tak bersalah? Saya tak hendak menafsir itu karena menyangkut kualutas kerendahan hati sesrorang yang ditinggikan oleh umatnya.

Tapi, sekaligus sebagai penutup, anekdot yang diceritakan Pastor Anthony de Mello, SJ berikut mungkin bisa memberi insight.

Suatu hari seorang Rahib di sebuah desa difitnah seorang gadis telah menghamili dirinya.  Warga desa kemudian menganiata Rahib yang dianggap munafik itu dan minta pertanggung-jawabannya. "Baiklah," kata Rahib itu, lalu menerima dan membesarkan anak yang kemudian dilahirkan gadis itu.

Rahib itu langsung jatuh namanya dan tak ada lagi orang yang mau minta nasihatnya.

Karena rasa bersalah, setahun kemudian gadis itu mengaku sebenarnya dia dihamili pemuda tetangganya. Warga desa menyesal lalu sujud mohon maaf kepada Rahib itu, sekalian meminta kembali anak tadi. "Baiklah," kata Rahib itu, lalu memberikan anak itu kepada ibunya. 

Apa moral anekdot itu? Kehilangan nama, kata de Mello,  tak beda dengan kehilangan kontrak yang mau ditandatangani dalam mimpi. (eFTe)

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun