***
Dua contoh artikel di atas, satu untuk menunjukkan ketaklogisan dan satu lagi immoralitas, terjaring secara acak dari sekian banyak AU di Kompasiana. Â
Saya kebetulan membacanya karena isunya menarik. Â Tapi kemudian pembacaan itu berujung kecewa. Â Saya merasa dibodohi dan diajak melakukan hal buruk.
Kalau cukup rajin melakukan kurasi AU Kompasiana, saya yakin cukup banyak ditemukan kelemahan terkait logika dan moral.Â
Ambil contoh topik pilihan edukasi privilese. Entah bagaimana pemahamannya sehingga sejumlah penulis topik itu menganggap privilese sebagai konsekuensi dari kekakayaan. Padahal privilese itu adalah hak istimewa yang melekat pada status sosial eksklusif. Sedangkan kekayaan hanya berimplikasi kemudahan akses sosial, ekonomi, dan politik.
Tapi kemudian sejumlah kompasianer menyamakan begitu saja privilese dan akses dalam tulisannya. Â Akibatnya, tulisan-tulisan itu bukan saja menjadi sesat logika, tapi juga membodohi pembaca.
Dengan mengkritik mutu kurasi artikel oleh Admin Kompasiana seperti ini, saya tak hendak menunjuk diri sendiri sebagai serba logis dan etis. Â Tidak, sama sekali tak macam itu. Â
Saya jelas punya keterbatasan dan, karena itu, selalu terbuka menerima kritik terkait aspek logika, etika, dan estetika pada artikel-artikel yang saya tulis. Â Termasuk artikel ini.
Namun Admin Kompasiana seyogyanya berada pada posisi dan tanggungjawab yang lebih krusial, karena menggawangi sebuah media sosial skala nasional bahkan dunia. Kualitas konten, dilihat dari aspek logika dan etika, tentu dipertaruhkan di sini.
Jangan sampai timbul penilaian bahwa Kompasiana itu, lewat tayangan AU, mempromosikan nilai-nilai ketaklogisan dan immoralitas ke ruang publik. Â Itu artinya kami, mayoritas kompasianer yang tak tahu-menahu soal itu, akan terbawa juga cemar namanya. (eFTe)
Â