Itu tiga aspek yang lazim saya gunakan sebagai ukuran mutu saat membaca sebuah tulisan. Â Entah itu artikel atau buku, fiksi ataupun non-fiksi.
Tentang estetika, ukurannya  relatif, sehingga tak usahlah diperdebatkan di sini. Tak banyak juga orang yang mampu menulis dengan diksi, frasa, dan kalimat yang estetik. Jika mampu maka itu adalah nilai lebih.
Jadi saya mau fokus pada dua aspek tulisan saja, logika dan etika.
Pada dua aspek itu saya, terus terang, hendak mengkritik Admin Kompasiana terkait artikel-artikel yang menjadi Artikel Utama (AU) di Kompasiana.
Mengapa mengkritik Admin, bukan Kompasianer penulis artikel? Karena, pertama, Â penetapan AU sepenuhnya wewenang Admin.Â
Lalu, kedua, jaminan aspek logika dan etika pada artikel yang menjadi AU semestinya adalah tanggung-jawab Admin. Sebab kerja Admin dipagari oleh standar logika dan etika yang ketat.
Tapi, faktanya, saya beberapa kali menemukan AU yang tak memenuhi standar logika dan atau etika.Â
Saya akan tunjukkan di bawah ini, tanpa mengungkap eksplisit judul artikel dan kompasianer penulisnya. Sebab saya tidak sedang menilai artikel dan menghakimi penulisnya.
***
Kita bicara tentang logika dulu. Ini menyangkut mutu isi tulisan. Apakah masuk akal atau omong kosong. Atau lebih parah lagi, sesat pikir?
Tak sukar menilai logika tulisan. Temukan gagasan pokoknya. Kemudian periksa konsistensinya dengan rangkaian gagasan dan data (fakta) pendukung dalam tubuh tulisan.
Saya beri satu contoh.
Baru-baru ini ada satu AU tentang upaya pencegahan stunting di Kompasiana. Gagasan utamanya, perbaikan mutu makanan di kantin sekolah sebagai salah satu upaya pencegahan stunting.
Sebagai sebuah tulisan, struktur artikel itu terbilang sistematis, sehingga terbaca logis. Masalah stunting memang masalah asupan pangan dan gizi buruk pada anak-anak, bukan? Kalau mutu pangan dan gizi di kantin sekolah ditingkatkan, tentu bisa membantu pencegahan stunting pada anak sekolah.
Logis, bukan?
Tapi tunggu dulu. Prevalensi stunting itu terjadi pada rentang usia pra-sekolah. Terutama pada usia 0-5 tahun. Â Bukan pada anak usia sekolah.
Itu artinya anak-anak sudah menderita stunting sebelum mereka bersekolah dan jajan di kantin sekolah, bukan? Â Jadi bagaimana mungkin kantin sekolah berperan mencegah stunting?
Jelas bahwa gagasan utama tulisan itu tidak konsisten dengan fakta (data) stunting nasional. Artinya aspek logika tak terpenuhi sehingga tulisan itu, sebagai sebuah rangkaian argumen, dengan sendirinya gugur.
Cukup jelas soal logika ini, kan? Selanjutnya, soal etika tulisan.
Di sini saya akan menggunakan pangkal etika sebagai acuan yaitu moral. Dasarnya, sebuah tulisan tak pernah bebas nilai, khususnya nilai moral. Â
Pertanyaan dasar, apakah suatu tulisan menganjurkan suatu moralitas (menuruti nilai kebaikan), atau immoralitas (melawan nilai kebaikan), atau amoralitas (meniadakan nilai kebaikan)?
Admin Kompasiana mestinya menetapkan AU berdasar antara lain kandungan moralitas. Apakah menawarkan kebaikan atau keburukan?
Jawabannya jelas: menawarkan kebaikan, moralitas tinggi.
Tapi nyatanya tidak selalu demikian. Â Saya berikan satu contoh artikel tentang joki akademik yang menjadi AU di Kompasiana baru-baru ini.
Artikel itu membagikan pengalaman seorang joki akademik dalam kerja penyusunan tesis untuk mahasiswa pascasarjana. Â Joki itu memilih membantu karyawan tua, usia 30-an akhir sampai 40-an, yang mengikuti kuliah pascasarjana sambil tetap kerja demi mendukung kenaikan pangkat dan jabatan.Â
Joki tersebut menilai kerja jokinya sebagai hal baik. Â Katanya, dia hanya membantu orang tua yang sedang berjuang memberi kehidupan yang layak bagi keluarganya.
Sampai di situ tak ada masalah. Â Karena joki tersebut sedang membuat pembenaran tentang kerja perjokiannya.Â
Masalah etika atau moral kemudian muncul saat penulis artikel memberi penilaian bahwa apa yang dilakukan joki itu terbilang menjunjung moral kesejahteran bangsa. Alasannya, joki tersebut selektif dan menyusun tesis sesuai ketentuan karya tulis ilmiah.
Masalahnya, perjokian akademik selamanya tidak pernah dan tidak akan pernah menjadi kegiatan yang bermoral. Perjokian akademik selamanya adalah kegiatan immoral, melawan nilai-nilai kebaikan. Joki dan kliennya sama tahu bahwa perjokian akademiki itu buruk, tapi secara sengaja tetap dilakukan.
Ketika penulis artikel itu mengatakan perjokian "masih menjunjung moral kesejahteraan bangsa" -- dan saya kurang paham apa maksudnya itu -- maka pada saat itu dia telah menganjurkan tindakan immoral. Â Atau sekurangnya dia mengajak permisif terhadap tindakan immoral dalam masyarakat.
Implikasinya, Admin lewat AU Kompasiana ikut menganjurkan tindakan immoral. Sesuatu yang tak etis dan jelas bertentangan dengan nilai-nilai moral yang dipromosikan Kompasiana.
***
Dua contoh artikel di atas, satu untuk menunjukkan ketaklogisan dan satu lagi immoralitas, terjaring secara acak dari sekian banyak AU di Kompasiana. Â
Saya kebetulan membacanya karena isunya menarik. Â Tapi kemudian pembacaan itu berujung kecewa. Â Saya merasa dibodohi dan diajak melakukan hal buruk.
Kalau cukup rajin melakukan kurasi AU Kompasiana, saya yakin cukup banyak ditemukan kelemahan terkait logika dan moral.Â
Ambil contoh topik pilihan edukasi privilese. Entah bagaimana pemahamannya sehingga sejumlah penulis topik itu menganggap privilese sebagai konsekuensi dari kekakayaan. Padahal privilese itu adalah hak istimewa yang melekat pada status sosial eksklusif. Sedangkan kekayaan hanya berimplikasi kemudahan akses sosial, ekonomi, dan politik.
Tapi kemudian sejumlah kompasianer menyamakan begitu saja privilese dan akses dalam tulisannya. Â Akibatnya, tulisan-tulisan itu bukan saja menjadi sesat logika, tapi juga membodohi pembaca.
Dengan mengkritik mutu kurasi artikel oleh Admin Kompasiana seperti ini, saya tak hendak menunjuk diri sendiri sebagai serba logis dan etis. Â Tidak, sama sekali tak macam itu. Â
Saya jelas punya keterbatasan dan, karena itu, selalu terbuka menerima kritik terkait aspek logika, etika, dan estetika pada artikel-artikel yang saya tulis. Â Termasuk artikel ini.
Namun Admin Kompasiana seyogyanya berada pada posisi dan tanggungjawab yang lebih krusial, karena menggawangi sebuah media sosial skala nasional bahkan dunia. Kualitas konten, dilihat dari aspek logika dan etika, tentu dipertaruhkan di sini.
Jangan sampai timbul penilaian bahwa Kompasiana itu, lewat tayangan AU, mempromosikan nilai-nilai ketaklogisan dan immoralitas ke ruang publik. Â Itu artinya kami, mayoritas kompasianer yang tak tahu-menahu soal itu, akan terbawa juga cemar namanya. (eFTe)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H