Kita bicara tentang logika dulu. Ini menyangkut mutu isi tulisan. Apakah masuk akal atau omong kosong. Atau lebih parah lagi, sesat pikir?
Tak sukar menilai logika tulisan. Temukan gagasan pokoknya. Kemudian periksa konsistensinya dengan rangkaian gagasan dan data (fakta) pendukung dalam tubuh tulisan.
Saya beri satu contoh.
Baru-baru ini ada satu AU tentang upaya pencegahan stunting di Kompasiana. Gagasan utamanya, perbaikan mutu makanan di kantin sekolah sebagai salah satu upaya pencegahan stunting.
Sebagai sebuah tulisan, struktur artikel itu terbilang sistematis, sehingga terbaca logis. Masalah stunting memang masalah asupan pangan dan gizi buruk pada anak-anak, bukan? Kalau mutu pangan dan gizi di kantin sekolah ditingkatkan, tentu bisa membantu pencegahan stunting pada anak sekolah.
Logis, bukan?
Tapi tunggu dulu. Prevalensi stunting itu terjadi pada rentang usia pra-sekolah. Terutama pada usia 0-5 tahun. Â Bukan pada anak usia sekolah.
Itu artinya anak-anak sudah menderita stunting sebelum mereka bersekolah dan jajan di kantin sekolah, bukan? Â Jadi bagaimana mungkin kantin sekolah berperan mencegah stunting?
Jelas bahwa gagasan utama tulisan itu tidak konsisten dengan fakta (data) stunting nasional. Artinya aspek logika tak terpenuhi sehingga tulisan itu, sebagai sebuah rangkaian argumen, dengan sendirinya gugur.
Cukup jelas soal logika ini, kan? Selanjutnya, soal etika tulisan.
Di sini saya akan menggunakan pangkal etika sebagai acuan yaitu moral. Dasarnya, sebuah tulisan tak pernah bebas nilai, khususnya nilai moral. Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!