Lagi pula, jangka panjang, aturan masuk sekolah pukul 05.00 pagi itu bisa berdampak buruk pada kesehatan fisik dan mental murid. Â Karena kurang tidur dan stres.Â
Nah, kalau sudah begitu, murid malah jadi dungu, kan? Bagaimana bisa masuk UI, ITB, dan lain-lain itu.
Lalu soal disiplin atau etos kerja itu.
Jangan bercanda, ah, Pak Gubernur.
Itu gak ada logikanya. Sebab itu sama saja mengatakan murid-murid yang sekolah sore atau malam itu gak disiplin dan gak punya etos kerja.Â
Yang benar saja, Pak.
Banyak murid yang sekolah sore/malam itu paginya kerja. Kurang apa lagi etos kerjanya, coba.
Pak Gubernur jangan membanding dengan seminari atau pesantrenlah. Itu kan semacam home schooling massal. Semua dilakukan di "rumah" dengan jadwal ketat dari pimpinan sekolah.Â
Saya pernah sekolah di seminari. Menurutku itu semacam "sekolah dalam penjara". Dibangunkan pukul 05.00 pagi, cuci muka dan sikat gigi, doa di kapel, masuk kelas belajar mandiri, sarapan pagi, lalu masuk kelas tepat pukul 07.00 WIB.Â
Pukul 07.00 pagi, Pak Gubernur. Bukan pukul 05.00 pagi. Atau pukul 05.30 pagi -- perubahan terbaru karena banyak murid telat. (Lha, katanya mau menegakkan disiplin. Kok kendor, sih?)
Saya sudah tunjukkan dalam cerita di atas. Pembentukan disiplin dan etos kerja itu tak ada kaitannya dengan pemajuan atau pemunduran jam masuk sekolah. Tapi terkait dengan penegakan aturan secara konsisten dan konsekwen.