Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Miramar

28 Februari 2023   12:05 Diperbarui: 1 Maret 2023   10:09 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hidangan restoran Padang (Foto: okezone.com)

Bukan. Ini bukan tentang seorang perempuan lugu Meksiko. Gadis telenovela ayu pada lakon si cantik Thalia.

Itu Marimar.

Ini tentang Miramar. Beda.

Ya, Miramar. Sebuah nama dari di ranah Minang. Nama untuk sebuah restoran Padang.

Aku pertama kali melihatnya di kota Siantar. Pada suatu hari Minggu di tahun 1974. Menjelang siang. 

Kelas satu SMP aku kala itu. Murid baru di Seminari Menengah Christus Sacerdos Siantar. Itu sekolah berasrama untuk calon pastor Katolik.

Hari itu kelasku dipandu dua orang senior ke pusat kota.  Jalan kaki.  Hanya untuk mengenalkan kota Siantar.

Saat menyusuri trotoar Jalan Sutomo, jalur pecinan, di situlah kulihat restoran itu. Terselip di antara toko-toko orang Cina.

Nama "Miramar", dengan huruf merah, tertera di bagian atas fasadnya. Juga di bagian atas kaca depannya. 

Agak gelap kaca depan itu. Tapi tak terlalu gelap untuk menutupi isi bufet makanan di baliknya  

Tampak piring -piring dan panci-panci berisi aneka lauk-pauk yang menerbitkan liurku. Ada ayam goreng, gulai ayam, gulai ikan, balado tongkol, dan cincang. Lalu ada lauk yang kelak kutahu namanya rendang, gajeboh, dan dendeng.

Lalu, di dalam restoran, terlihat samar sejumlah orang bersantap. Mejanya penuh dengan piring-piring kecil, pasti berisi aneka lauk-pauk.

Pikirku, Miramar itu pastilah restoran mewah. Makanannya pastilah enak semua. Dan, tentu saja, pasti mahal.

Sejak hari itu, Miramar melekat erat dalam benakku. Atau, tepatnya, dalam anganku. 

Perbincangan dua orang pastor di asrama menyegel anganku menjadi cita-cita. Kudengar pastor yang lebih tua bercerita dirinya baru ditraktir umat makan siang di Miramar. Kulihat ekspresi wajahnya, decapan mulutnya, dan sapuan ujung lidahnya di bibir saat bercerita mengabarkan satu dan hanya satu hal. Tak ada makanan senikmat di Miramar.

"Sialan kau, pastor!" Umpatku dalam hati. Hampir gila rasaku mendengar cerita pastor itu. Ingin kutumbuk saja mulutnya tersebab iri hatiku.

"Baiklah," kataku, masih dalam hati. "Kelak bila aku sudah menjadi pastor, akan tiba juga waktuku ditraktir umat makan di Miramar."

Itu terdengar seperti sebuah dendam. Mesti dibayar lunas.

Tapi Tuhan tak memilihku. Walau sudah memanggilku. Aku tak akan pernah menjadi pastor.

Di akhir tahun ketiga, persis selulus SMP, aku dipanggil pastor rektor seminari, seorang Belanda, ke ruangannya.

"Nak, tidak semua lelaki Katolik harus menjadi pastor," hiburnya.

Aku memang sedih. Sebab cita-citaku kandas sudah.  Gagal menjadi pastor, maka gagal ditraktir umat di Miramar.

Tapi ucapan pastor rektor itu masuk di akalku juga. Bayangkan kalau semua lelaki Katolik menjadi pastor. Pastilah umat Katolik seluruhnya perempuan.  

Lalu kutinggalkan Siantar. Pulang ke Toba, kampung halaman. Melanjut ke sebuah SMA kampung.  Tiga tahun, lulus.

Tembak langsung ke kota Bogor. Kuliah di sebuah institut pertanian. Empat tahun, lulus.

Sekolahku memang lancar. Dari SD sampai perguruan tinggi tak pernah tinggal kelas. Tak sekalipun. 

Itu bukan karena aku sangat cerdas. Bukan. Tapi karena aku tak pernah berpikir tinggal kelas itu ada gunanya.

Apa guna mengulang perjuangan satu tahun lagi hanya demi meraih satu hal yang sama? Bagiku itu buang-buang umur.  

Aku hanya setuju pada satu jenis kegagalan dalam hidup. Memutus atau diputus pacar. Sebab itu kesempatan untuk mendapatkan yang lebih baik, bukan?

Selebihnya, aku tak bisa terima dalam hidupku. Terlebih jika itu kegagalan bersantap di Miramar.

Ah, kau, Miramar. 

Sudah begitu lama kutinggalkan Siantar. Segala yang ada di sana. 

Tapi Miramar tidak. Dia semayam di anganku. Terbawa terus. Ke manapun aku pergi.

Selepas lulus sarjana, lalu bekerja, aku sudah berkelana ke berbagai kota di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Makan di berbagai restoran Padang. Termasuk di kota Padang.

Tapi tak satupun dari banyak pengalaman makan itu menghapus anganku pada Miramar. 

Dalam benakku sudah terpatri sebuah citra. Tak ada santapan yang nikmat kecuali hidangan Miramar.

Desember 2004. Tigapuluh tahun dari 1974. Pada suatu pagi yang cerah.

Derum taksi Kingswood tua memenuhi udara jalan raya Medan-Siantar. Menyelusup ke jalur-jalur kosong di antara baris-baris pohon karet dan kelapa sawit di koridor kiri dan kanan jalan raya. 

Aku, istriku, dan anak perempuan kami, masih balita, duduk nyaman di jok belakang. 

Kami sedang pulang ke kampung halaman, Toba. Turun dari pesawat di Polonia, langsung naik taksi bandara ke pool taksi antar kota di Teladan. 

Perjalanan ke Toba akan makan waktu empat jam. Lewat Tebingtinggi, Siantar, dan Parapat.

"Kita makan siang di mana?" tanya istriku. Taksi sudah melewati Sinaksak, gerbang utara kota Siantar.

"Di Siantar. Di Miramar. Restoran Padang terenak seindonesia," jawabku.

"Seindonesia?"

Aku mengangguk. 

"Akhirnya tiba juga waktuku melunasi dendam," sorakku dalam hati. "Aku akan bersantap di Miramar. Di balik kaca yang agak gelap itu."

"Kenapa kamu senyum-senyum," teguran istriku membuyarkan lamunan.  

"Ah, iya, senang bisa pulang kampung. Setelah duapuluh empat tahun. Bersamamu dan anak kita."

Aku berbohong. Tapi juga tak salah. Perkataanku benar.  

Taksi berhenti tepat di depan Miramar. Di Jalan Sutomo, Siantar. 

Kami bertiga segera turun.

"Persis. Masih seperti tigapuluh tahun lalu." Aku membatin, saat melihat lagi fasad dan kaca depan restoran itu. Tulisan "Miramar" itu masih seperti yang dulu. 

Aku hampir menangis saat mulai mencicipi makanan yang dihidang lengkap di atas meja. Rendang, dendeng, gajeboh, gulai ayam, ayam goreng, balado tongkol, sambal merah, sayur nangka, dan daun singkong. 

Aku harus menunggu selama tigapuluh tahun untuk menuntaskan dendam di lidah dan lambungku. 

Mungkin tak perlu selama itu menunggu, andai saja Tuhan dulu mau memilihku menjadi pastor.

Tapi, tidak, tidak ada yang kusesali. Sebaliknya, kubersyukur. Aku kini boleh makan dari hasil keringat sendiri di Miramar. Bersama anak dan istriku. 

Jika harus ada air mata, dan mungkin ada sedikit linangan, maka itu adalah tanda bahagiaku. Karena anak dan istriku boleh ikut menikmati anganku, mimpiku sejak kecil.

Mimpi makan di Miramar. Menyantap masakan Padang yang, dalam benakku, paling enak sedunia. 

Dan aku yakin, tadi lidahku tak berdusta.

"Bagaimana makanannya, sayang. Enak, kan?" Aku bertanya pada istriku di dalam taksi.  Miramar dan Siantar sudah ditinggal jauh di belakang sana.  

"Mmm ..., aku pernah makan yang lebih enak, sayang."

Cepat-cepat kupalingkan wajah ke arah jendela taksi. Menatap langit biru di atas sana. 

Syukurlah, langit  belum runtuh. (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun