"Seindonesia?"
Aku mengangguk.Â
"Akhirnya tiba juga waktuku melunasi dendam," sorakku dalam hati. "Aku akan bersantap di Miramar. Di balik kaca yang agak gelap itu."
"Kenapa kamu senyum-senyum," teguran istriku membuyarkan lamunan. Â
"Ah, iya, senang bisa pulang kampung. Setelah duapuluh empat tahun. Bersamamu dan anak kita."
Aku berbohong. Tapi juga tak salah. Perkataanku benar. Â
Taksi berhenti tepat di depan Miramar. Di Jalan Sutomo, Siantar.Â
Kami bertiga segera turun.
"Persis. Masih seperti tigapuluh tahun lalu." Aku membatin, saat melihat lagi fasad dan kaca depan restoran itu. Tulisan "Miramar" itu masih seperti yang dulu.Â
Aku hampir menangis saat mulai mencicipi makanan yang dihidang lengkap di atas meja. Rendang, dendeng, gajeboh, gulai ayam, ayam goreng, balado tongkol, sambal merah, sayur nangka, dan daun singkong.Â
Aku harus menunggu selama tigapuluh tahun untuk menuntaskan dendam di lidah dan lambungku.Â