Mungkin tak perlu selama itu menunggu, andai saja Tuhan dulu mau memilihku menjadi pastor.
Tapi, tidak, tidak ada yang kusesali. Sebaliknya, kubersyukur. Aku kini boleh makan dari hasil keringat sendiri di Miramar. Bersama anak dan istriku.Â
Jika harus ada air mata, dan mungkin ada sedikit linangan, maka itu adalah tanda bahagiaku. Karena anak dan istriku boleh ikut menikmati anganku, mimpiku sejak kecil.
Mimpi makan di Miramar. Menyantap masakan Padang yang, dalam benakku, paling enak sedunia.Â
Dan aku yakin, tadi lidahku tak berdusta.
"Bagaimana makanannya, sayang. Enak, kan?" Aku bertanya pada istriku di dalam taksi. Â Miramar dan Siantar sudah ditinggal jauh di belakang sana. Â
"Mmm ..., aku pernah makan yang lebih enak, sayang."
Cepat-cepat kupalingkan wajah ke arah jendela taksi. Menatap langit biru di atas sana.Â
Syukurlah, langit belum runtuh. (eFTe)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI