Tampak piring -piring dan panci-panci berisi aneka lauk-pauk yang menerbitkan liurku. Ada ayam goreng, gulai ayam, gulai ikan, balado tongkol, dan cincang. Lalu ada lauk yang kelak kutahu namanya rendang, gajeboh, dan dendeng.
Lalu, di dalam restoran, terlihat samar sejumlah orang bersantap. Mejanya penuh dengan piring-piring kecil, pasti berisi aneka lauk-pauk.
Pikirku, Miramar itu pastilah restoran mewah. Makanannya pastilah enak semua. Dan, tentu saja, pasti mahal.
Sejak hari itu, Miramar melekat erat dalam benakku. Atau, tepatnya, dalam anganku.Â
Perbincangan dua orang pastor di asrama menyegel anganku menjadi cita-cita. Kudengar pastor yang lebih tua bercerita dirinya baru ditraktir umat makan siang di Miramar. Kulihat ekspresi wajahnya, decapan mulutnya, dan sapuan ujung lidahnya di bibir saat bercerita mengabarkan satu dan hanya satu hal. Tak ada makanan senikmat di Miramar.
"Sialan kau, pastor!" Umpatku dalam hati. Hampir gila rasaku mendengar cerita pastor itu. Ingin kutumbuk saja mulutnya tersebab iri hatiku.
"Baiklah," kataku, masih dalam hati. "Kelak bila aku sudah menjadi pastor, akan tiba juga waktuku ditraktir umat makan di Miramar."
Itu terdengar seperti sebuah dendam. Mesti dibayar lunas.
Tapi Tuhan tak memilihku. Walau sudah memanggilku. Aku tak akan pernah menjadi pastor.
Di akhir tahun ketiga, persis selulus SMP, aku dipanggil pastor rektor seminari, seorang Belanda, ke ruangannya.
"Nak, tidak semua lelaki Katolik harus menjadi pastor," hiburnya.