Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Yosua Kehilangan Nyawanya tapi Sambo Kehilangan Segalanya

16 Februari 2023   07:11 Diperbarui: 16 Februari 2023   17:33 799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ferdy Sambo dan Yosua Hutabarat (Foto: Dok. Istimewa via detik.com)

"Menjatuhkan vonis hukuman mati untuk Ferdy Sambo dan penjara 20 tahun untuk Putri Candrawathi." -Majelis Hakim PN Jakarta Selatan, 13 Februari 2023

Palu hakim telah diketukkan. Vonis telah dijatuhkan. Ferdy Sambo hukuman mati. Putri Candrawathi, istrinya, penjara 20 tahun. 

Keduanya terbukti, sah dan meyakinkan, bersalah secara hukum turut serta melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua Hutabarat. 

Baca juga: Kurindumu

Adil?

Katakanlah begitu.  Sebab bukankah hakim itu wakil "Tuhan Yang Maha Adil" di bumi manusia?

Walau manusia sejatinya tak akan pernah paham ukuran keadilan Tuhan. 

Tapi ada yang sangat menyedihkan dibalik keadilan itu. Sesuatu yang juga sangat menyakitkan.

Itulah fakta kehilangan.  Kesia-siaan yang tak semestinya terjadi. 

***

Bagaimanapun, menghilangkan nyawa sesama manusia, sengaja (berencana) atau tidak, tak akan pernah menjadi tindakan cerdas. 

Selamanya itu tindakan dungu. Sedungu-dungunya perbuatan manusia.

Seperti halnya juga perang antar manusia adalah dungu. Sebab tempik sorak kemenangan di atas tumpukan jenazah dan genangan darah hanya mungkin dilakukan binatang.

Dan, memang,  sering dikatakan binatang itu versi dungunya manusia.

Lalu, kasus pembunuhan Yosua. Apakah itu pertanda Homo homini socius (T. Hobbes) telah berevolusi balik menjadi Homo homini lupus (Plautus)?

Sebab bagaimana mungkin polisi yang hakekatnya adalah keamanan justru tidak aman bagi dirinya sendiri? Tidakkah itu sebuah kontradiksi yang mengerikan?

Tapi itulah yang telah terjadi.

Dan setelah itu semua terjadi, setelah hakim menjatuhkan vonis adil, semua pihak kemudian menyadari bahwa tiada hasil yang direngkuh. 

Hanya ada kehilangan yang selamanya tak akan terkembalikan.

Vonis hakim, sejauh diterima sebagai wujud keadilan,  adalah segel kehilangan itu.

***

Sebuah daftar panjang kehilangan dapat dibuat. Baik itu obyektif maupun subyektif.

Tapi baiklah membatasi diri pada kehilangan obyektif yang utama.

Yosua. Dia kehilangan nyawanya. Hanya nyawanya. 

Sebab sebelumnya dia juga sempat kehilangan nama baik. Setelah dinarasikan dia melakukan tindak kekerasan seksual kepada Putri, "majikan"-nya. Dan karena perbuatannya itu, nyawanya dihilangkan paksa oleh Sambo. 

Vonis hakim tegas menyebut Yosua tak melakukan kekerasan seksual pada Putri.

Dengan begitu, nama baiknya telah dipulihkan -- walau belum resmi. Yosua tidak tewas sebagai penjahat seks, tapi sebagai polisi yang setia mengabdi pada atasannya, Sambo dan Putri.

Lalu, Sambo?

Dengan vonis mati itu dia telah kehilangan segalanya. Hidupnya, keluarganya, dan kariernya, nama baiknya, kekuasaannya, dan mungkin harta-bendanya.

Kelak jika Tuhan memanggilnya, maka dia tak akan mati sebagai polisi seperti Yosua, tapi mati sebagai pembunuh anak-buahnya. Begitulah orang akan mengingatnya.

Bahkan jika nanti ada seorang presiden yang sudi memberikan amnesti untuknya, publik akan tetap mengingatnya sebagai pembunuh.

Dan, kita?

Ya, kita. Kita telah kehilangan sebagian kepercayaan kita kepada institusi kepolisian. Ada bagian yang telah digerogoti kasus Sambo. Bagian yang terbilang substantif.

Kehilangan kepercayaan itu mungkin akan terasakan sebagai "trauma sosial".  Yang tak pernah mudah dipulihkan. Karena selalu ada pula kejadian yang menguak luka. Seperti indikasi rekayasa pada kasus "tabrak lari" yang merenggut nyawa dua orang mahasiswa:  Hasya di Jagakarsa, Selvi di Cianjur.

Kapan kepolisian kita bisa menjadi organisasi pembelajar (learning organization) yang cerdas?

Sejatinya, institusi kepolisian memerlukan revolusi sistemik untuk memulihkan trauma sosial publik itu. Bukan hanya sekadar tindakan pemecatan, pemutasian, dan penurunan pangkat massal.

Itu reposisi, bukan revolusi! (eFTe)

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun