"Bebas anak (childfree) adalah resep awet muda alami."
Itu bukan kata saya.
Itu klaim seorang perempuan selebgram penganut paham perkawinan bebas anak yang wajahnya tampak  "awet muda" -- setidaknya seperti terlihat pada fotonya.
Klaim yang bikin heboh. Viral, ramai dengan tanggapan pro dan kontra.
Sebegitu ramainya, kalau bukan sengit. Tak urung, saya jadi bertanya-tanya. Apa sih masalahnya dengan klaim semacam itu?Â
***
Hari Natal 2022 Desember lalu.
Empat orang suster (biarawati Katolik) berkunjung ke rumah. Natalan. Tradisi yang sempat terputus tahun 2020-2021. Dampak pandemi Covid-19.
Salah seorang suster sudah berusia 50-an. Tapi tampilan fisiknya -- sekurangnya pada wajah -- mengesankan usia 40-an awal. Atau mungkin 30-an akhir.
Istriku bertanya agak takjub. "Kok bisa tampak awet muda, ya, suster."
"Karena kami suster. Tidak menikah, tidak hamil, dan tak punya anak biologis," jawabnya. Jawaban yang mengguratkan rasa heran di wajah kami.
Suster itu tanggap.
Dia lantas bercerita tentang juniornya yang melepas kaul untuk menikah. Beberapa waktu yang lalu mereka berkunjung ke rumahnya. Mereka sedikit kaget. Juniornya itu, yang sudah beranak dua, tampak lebih tua dari mereka.
"Hidup berkeluarga, punya anak, adalah panggilan hidup yang berat. Tubuh dan pikiran harus kerja keras. Akibatnya tubuh cepat kehilangan kemudaannya."
Begitu penjelasan suster tua yang awet muda itu. Masuk akal, sih. Kami, istriku dan aku, sudah mengalaminya.
Bagusnya, suster tua itu lupa bilang, "Menjadi suster adalah resep awet muda alami dan surgawi."
Itu bisa menjadi justifikasi hebat untuk kaum "amunia" (awet muda mania), bukan?
***
Hubungan antara  "bebas anak" dan "awet muda fisik" biarlah para biolog, dokter, dan psikolog yang menjelaskannya.
Apakah hubungannya bersifat kausatif, asosiatif, atau koinsidentif, butuh penjelasan saintifik yang mungkin rada njlimet.Â
Sekaligus itu mungkin bisa juga menjelaskan mengapa para jomlo senior dan kaum selibat tampak awet muda.
Itu pasti ulikan menarik, tapi bukan bidang keahlianku.
Saya hanya akan mengulik dari sudut pandang sosiologi.
Begini.
Sosiologi mengkonsepsikan keluarga inti sebagai grup sosial terkecil dalam masyarakat. Di atasnya ada komunitas kecil semisal dusun, lalu organisasi desa, dan seterusnya sampai negara.Â
Membentuk keluarga inti (prokreasi) itu bukan kewajiban hukum (custom). Jadi, seseorang tak akan dihukum karena, misalnya, menjomlo. Jomlo bukan kejahatan.
Begitupun, berkeluarga tak wajib hukumnya punya anak. Pasutri tak bisa dihukum, misalnya denda atau kurungan badan, hanya karena menikah tapi tak punya anak.
Seseorang memutuskan jomlo atau menikah tanpa anak, Â seperti halnya menikah dan berketurunan, Â adalah soal pilihan rasional.
Motifnya subyektif. Lazimnya terkait kondisi sosial-ekonomi. Semisal karena "biaya anak" itu sangat tinggi. Atau karena kebutuhan untuk fokus pada karier.
Pilihan itu tentu juga sudah menimbang risiko dan manfaat.
Secara sosiologis, risiko paling nyata adalah tekanan sosial. Itu terkait dengan penilaian bahwa menikah dan berketurunan adalah prestasi dan prestise sosial mulia.
Implikasinya, orang yang menikah lebih dihargai ketimbang yang tak menikah -- kecuali orang yang status sosialnya mengharuskan selibat. Â
Begitupun, menikah tapi tanpa anak dinilai kurang berharga dibanding menikah dan berketurunan.
Tekanan sosial semacam itu  merujuk pada norma kebiasaan sosial-budaya (folkways). Biasanya orang menikah; biasanya orang menikah itu punya anak. Kalau tak begitu, dianggap penyimpangan (social deviation). Â
Lalu, soal manfaat.Â
Sosiologi tak membicarakan manfaat individual tapi sosial.
Jadi bila ada seseorang mengklaim nikah bebas anak itu bikin awet muda, itu urusan pribadi dialah. Belum tentu berlaku untuk orang lain, bukan?
Manfaat sosiologis harus dilihat dari sisi kepentingan masyarakat. Salah satunya pengelolaan mutu hidup tinggi.Â
Penjelasannya begini.
Nikah bebas anak menurunkan angka kelahiran dan, karena itu, juga tingkat tekanan sosio-ekonomi. Implikasinya persaingan sosek tetap rendah. Sehingga distribusi sumber-sumber sosio-ekonomi tetap bisa menjamin mutu hidup tinggi.
Begitulah gejala yang teramati di sejumlah negara Eropah Barat dan Utara. Seperti di Swiss dan Finlandia. Di sana status pernikahan bebas anak sudah jamak.
***
Jadi, bila nikah bebas anak itu adalah pilihan rasional, mengapa timbul kecaman atau kritik terhadapnya?
Dalam konteks sosiologis Indonesia, saya pikir ada dua pemicunya.
Pertama, devaluasi anak. Ekstrimnya, jika seseorang mengatakan nikah tanpa anak adalah resep awet muda alami, maka dia sedang mengatakan "awet muda lebih bernilai ketimbang anak".Â
Itu mendevaluasi anak ke bawah nilai awet muda yang hanya sementara. Tidakkah itu pelecehan terhadap kemanusiaan?
Kedua, ancaman kepunahan spesies. Ekstrimnya, jika 80% pasutri dunia hari ini memutuskan nikah bebas anak, maka dalam 50 tahun ke depan spesies Homo sapiens sapiens akan terancam punah.
Lebih buruk lagi, spesies-spesies Primata lain mungkin akan meraja. Sehingga planet bumi kita mungkin akan menjadi  Planet of the Apes.
Jadi, harus bagaimana?
Saya pikir begini.Â
Betul bahwa nikah bebas anak itu pilihan (bebas) rasional. Tapi, jangan dilupakan, pernikahan tak semata bermuatan kepentingan personal tapi juga tanggungjawab sosial.Â
Rasional dari sisi kepentingan personal, belum tentu rasional dari sudut kepentingan sosial.
Karena itu keputusan untuk nikah bebas anak (padahal bisa punya) sejatinya hanya bisa diterima hanya jika, dan hanya jika, keputusan punya anak berdampak buruk pada masyarakat.Â
Misalnya, nikah lalu punya lima anak, tapi semua terlantar. Berarti anak jadi beban masyarakat dan negara, bukan? Itu buruk!
Pernikahan itu mengandung konsekuensi reproduksi dan produksi. Keduanya mesti asosiatif: reproduksi mendukung produksi dan sebaliknya. Itu cara menuju masyarakat yang kebih baik dari satu ke lain generasi.
Ringkasnya, jika memutuskan menikah maka putuskan dan pastikan punya satu atau maksimal dua orang anak dengan kualitas biologis dan sosial yang lebih tinggi dibanding orangtuanya. Â
Dengan cara begitu, generasi hari ini akan melahirkan generasi esok yang jauh lebih baik.
Itulah muatan tanggungjawab sosial pada suatu pernikahan. Jangan pernah ingat itu sebelum memutuskan status pernikahan bebas anak. (eFTe)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H