Dalam konteks sosiologis Indonesia, saya pikir ada dua pemicunya.
Pertama, devaluasi anak. Ekstrimnya, jika seseorang mengatakan nikah tanpa anak adalah resep awet muda alami, maka dia sedang mengatakan "awet muda lebih bernilai ketimbang anak".Â
Itu mendevaluasi anak ke bawah nilai awet muda yang hanya sementara. Tidakkah itu pelecehan terhadap kemanusiaan?
Kedua, ancaman kepunahan spesies. Ekstrimnya, jika 80% pasutri dunia hari ini memutuskan nikah bebas anak, maka dalam 50 tahun ke depan spesies Homo sapiens sapiens akan terancam punah.
Lebih buruk lagi, spesies-spesies Primata lain mungkin akan meraja. Sehingga planet bumi kita mungkin akan menjadi  Planet of the Apes.
Jadi, harus bagaimana?
Saya pikir begini.Â
Betul bahwa nikah bebas anak itu pilihan (bebas) rasional. Tapi, jangan dilupakan, pernikahan tak semata bermuatan kepentingan personal tapi juga tanggungjawab sosial.Â
Rasional dari sisi kepentingan personal, belum tentu rasional dari sudut kepentingan sosial.
Karena itu keputusan untuk nikah bebas anak (padahal bisa punya) sejatinya hanya bisa diterima hanya jika, dan hanya jika, keputusan punya anak berdampak buruk pada masyarakat.Â
Misalnya, nikah lalu punya lima anak, tapi semua terlantar. Berarti anak jadi beban masyarakat dan negara, bukan? Itu buruk!
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!