Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Going Native, Biografi Fiksional, dan Sketsa Poltak

16 Januari 2023   06:04 Diperbarui: 17 Januari 2023   04:38 1551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cover sketsa biografi fiksional  "Poltak" di Kompasiana (Kolase FT dari foto kompas.com/dok. istimewa)

Going native.

Pernah mendengar frasa itu? Itu istilah dalam riset sosial kualitatif. 

Artinya, dalam konteks riset, menyatu jadi subyek warga dalam satu komunitas yang sedang diteliti.

Contohnya begini.  Poltak meneliti satu komunitas Jawa di sebuah dusun di Jawa Tengah. Untuk mendapatkan data, dia melibatkan diri secara intens dalam kehidupan komunitas itu. 

Sedemikian intens keterlibatannya. Sehingga Poltak, dan warga komunitas, mengidentifikasi dirinya sebagai "orang dalam", warga setempat.  

Tidak ada lagi jarak sosial. Poltak kehilangan identitas dan kesadarannya sebagai "orang luar" yang sedang meneliti.  

Itu contoh fiktif, ya. Bukan kejadian yang sebenarnya.

Lantas apa untung-ruginya going native?

Untungnya, jika seseorang diterima menjadi warga satu komunitas, maka banyak informasi "orang dalam" yang bisa digalinya. Misalnya soal aib tokoh-tokoh komunitas. Informasi semacam itu lazimnya tak diceritakan kepada "orang luar".

Ruginya, untuk konteks riset, subyektivitas periset menjadi terlalu tinggi. Sebegitu tingginya, sehingga laporan risetnya menjadi kata "orang dalam", subyek tineliti. Bukan  kata "orang luar", subyek peneliti.

Cilaka bila laporan riset seperti itu. Sejawat periset akan menilainya sebagai kisah fiksi. Bukan laporan riset ilmiah yang obyektif, non-fiksi.

***

Cilaka di ranah riset, non-fiksi, bisa berkah di ranah fiksi.

Maksudku, soal going native itu.

Haram hukumnya di dunia riset sosial kualitatif.  Semisal riset antropologi, etnologi, dan sosiologi.

Tapi di ranah fiksi, semisal penulisan novel dan cerpen, going native itu bisa menjadi strategi penulisan yang produktif.

Setidaknya begitu menurut pengalamanku. Nanti kuceritakan, ya.

Dengan going native di ranah fiksi, saya maksudkan adalah "penulis secara sengaja masuk menjiwai subyek karakter utama atau sampingan dalam cerita".

Implikasinya, penulis secara sadar menjadi "orang dalam" yang sedang berkisah. Bukan "orang luar" yang berkisah tentang "orang lain".

Dalam fiksi dikenal tiga sudut pandang penceritaan. Sudut pandang orang pertama (aku),  orang kedua, dan orang ketiga. Dengan segala variannya.

Tapi going native tak berkait secara kongruen dengan sudut pandang penceritaan.  Semisal kalau menggunakan sudut pandang "orang pertama", pasti going native. Lalu, sebaliknya jika sudut pandang "orang ketiga".

Entah penulis memilih sudut pandang "orang pertama" atau "orang ketiga -- keduanya paling lazim -- hal itu bukan indikasi langsung ada tidaknya  going native.

Maksudku, begini.

Sudut pandang "orang pertama" tak serta merta going native. Sebaliknya sudut pandang "orang ketiga" tak serta merta pula anti-going native.

Bukan. Bukan seperti itu. 

Bisa saja keduanya going native. Atau sebaliknya anti-going native.

Tergantung pada tipe "orang pertama" dan "orang ketiga" itu. Apakah dia orang yang terlibat masuk sepenuhnya, lebur,  ke dalam satu karakter dan konteks perkisahan. Atau lebih sebagai penonton yang menulis laporan pandangan mata.

Keterlibatan penuh, itu kuncinya.  Dalam arti menjadi satu karakter dalam kisah. Serta, lebur ke dalam konteks sosial kisah.

Sehingga tak ada "jarak sosial" antara pencerita -- atau penulis -- dengan kisah fiksinya. Tak perduli dia hadir sebagai "orang pertama"  atau "orang ketiga".

Sulit dibayangkan? 

Baiklah. Saya akan beri contoh pengalamanku sendiri.

***

"Poltak".

Itu judul sebuah perkisahan yang sedang saya anggit dan agihkan secara bersambung di Kompasiana. Terakhir sudah masuk nomor #102.

Semula saya melabelnya "novel anarkis". Karena saya menulisnya  secara "sesukaku". 

Belakangan saya berubah akal. Lalu melabelnya sebagai "sketsa biografi fiksional." Tanpa menghilangkan spirit anarkisme dalam proses kreatif atau penulisannya.

Ada pertanyaan, atau dugaan, bahkan simpulan dari pembaca bahwa karakter Poltak kecil dalam sketsa itu adalah Felix Tani, saya sendiri, semasa kecil. Dan kisah Poltak itu adalah kisah masa kanak-kanak Felix Tani.  

Jawabannya ada pada label "skesta biografi fiksional" itu. 

"Poltak" itu jelas sebuah kisah fiksi. Bukan biografi, atau otobiografi -- dalam arti riwayat hidup faktual.

Tapi karakter Poltak memang mengambil Felix Tani kanak- kanak sebagai model sosialnya. Sekalian dengan lingkungan sosial dan alamnya.

Jadi karakter Poltak serta orang-orang dalam sketsa itu memang ada, tapi mereka telah "di-fiksi-kan". Begitupun dengan latar tempat, sosial, ekonomi, dan  budaya.

Itu alasanku melabel perkisahan itu sebagai "biografi fiksional".  Kisah itu memang biografi Felix Tani kanak-kanak. Tapi sifatnya fiksional -- sudah menjadi fiksi.

Biografi fiksional itu saya bangun dengan bertumpu pada kekuatan strategi going native. Secara sadar, saya telah masuk ke dalam cerita menjadi subyek Poltak yang fiksional.

Garis bawahi frasa "Poltak yang fiksional". Dia adalah "Felix Tani" kecil yang direka-ulang berdasar perspektif dan imajinasi Felix Tani masa kini.  

Intinya begini. Andai boleh kembali ke masa kecil, maka aku ingin menjadi sosok Poltak. Karakter idealistik  anak Batak Toba tahun 1960-1970 yang kuciptakan sendiri.

Bisa kubilang, Poltak adalah cita-citaku bila waktuku boleh diputar kembali ke masa lalu. 

Jika pembaca "Poltak"  kemudian berpikir bahwa cerita itu adalah kisah nyata, maka itulah buah going native. 

Saya lahir dan menghabiskan masa kecil di Tanah Batak, sebagai anak Batak, yang hidup sebagai warga komunitas Batak di sebuah kampung kecil -- Panatapan dalam versi fiksinya. 

Sedikit banyak, dari pengalaman langsung dan hasil membaca, saya juga memahami adat dan budaya Batak serta sejarah dinamika  sosial, ekonomi, dan politiknya.

Karena itu, tak terlalu sulit bagiku untuk going native, lebur menyatu ke dalam cerita dalam rupa subyek Poltak kecil.

Mungkin pembaca merasa karakter Poltak itu terlalu "maju", melampaui  zamannya, atau bahkan terlalu "dewasa".

Bisa saya terangkan. Singkat.

Itu terjadi karena saya memproyeksikan ideal-idealku sekarang kepada Poltak kecil yang hidup di masa lalu. Alhasil, Poltak tampil sebagai anak masa lalu dengan perilaku masa kini. 

Absurd? Itulah keajaiban fiksi.

***

Saya bukan seorang penulis fiksi. Tapi seorang penulis non-fiksi, laporan riset saintifik. 

Hanya saja, saya percaya seseorang hanya bisa menjadi penulis non-fiksi yang "membumi", bila dia bisa menulis fiksi. 

Maka akupun belajar menulis fiksi. Hasilnya sketsa "Poltak". 

Kutulis sketsa "Poltak" itu dengan metodeku sendiri. "Metode tanpa metode" yang anarkis ala filsuf Paul Feyerabend. Mungkin caraku itu anti-teori sastra.

Caraku itu telah kusebut sebagai "biografi fiksional". Telah kuterangkan tadi.

Intinya, saya membayangkan Poltak dan lingkungan sosial dan alamnya sebagai ajang riset sosisl kualitatif. Lalu saya secara sadar going native  ke dalam ajang itu merupa Poltak yang serba tahu segala. Maka keluarlah "laporan" berupa kisah subyektif karakter Poltak.

Apakah itu gampang?

Entahlah. Yang kutahu, saya beruntung karena pernah mempelajari metode riset kualitatif, etnografi, dan metode biografi. Pengetahuan itu sungguh membantuku saat menganggit sketsa biografi fiksional "Poltak".

Begitupun, saya tak hendak mengklaim "biografi fiksional" sebagai cara baru, temuanku. Tidak.  Mungkin saja para sastrawan dan teorisi sastra sudah lama tahu cara itu. Hanya beda istilah saja.

Mari kita diskusikan saja. Saya ingin belajar lebih banyak.

Tulisan ini diagihkan untuk memicu diskusi itu. Bukan untuk memberi semacam tips cespleng menulis fiksi.

Bukan. Bukan seperti itu.

Sebab saya tidak ingin menjadi serupa seorang penganggur kronis yang menulis artikel tips cepat mendapatkan pekerjaan. (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun