Cilaka bila laporan riset seperti itu. Sejawat periset akan menilainya sebagai kisah fiksi. Bukan laporan riset ilmiah yang obyektif, non-fiksi.
***
Cilaka di ranah riset, non-fiksi, bisa berkah di ranah fiksi.
Maksudku, soal going native itu.
Haram hukumnya di dunia riset sosial kualitatif. Â Semisal riset antropologi, etnologi, dan sosiologi.
Tapi di ranah fiksi, semisal penulisan novel dan cerpen, going native itu bisa menjadi strategi penulisan yang produktif.
Setidaknya begitu menurut pengalamanku. Nanti kuceritakan, ya.
Dengan going native di ranah fiksi, saya maksudkan adalah "penulis secara sengaja masuk menjiwai subyek karakter utama atau sampingan dalam cerita".
Implikasinya, penulis secara sadar menjadi "orang dalam" yang sedang berkisah. Bukan "orang luar" yang berkisah tentang "orang lain".
Dalam fiksi dikenal tiga sudut pandang penceritaan. Sudut pandang orang pertama (aku), Â orang kedua, dan orang ketiga. Dengan segala variannya.
Tapi going native tak berkait secara kongruen dengan sudut pandang penceritaan.  Semisal kalau menggunakan sudut pandang "orang pertama", pasti going native. Lalu, sebaliknya jika sudut pandang "orang ketiga".