Berdua berdiri di tengah halaman. Memandang ke langit timur. Terpukau menatap bulatan terang rembulan Samisara Purasa yang nyaris tula, purnama.
Berdua adalah laron. Terpikat oleh sihir cahaya emas rembulan.
Dari sebelah timur, terhalang oleh porlak, kabun campuran, terdengar riuh teriakan anak-anak. Mungkin sedang main galasin, atau petak umpet, di bawah terang bulan.
"Mungkin ada Alogo dan Tiur." Poltak membatin. Tapi dia tak berminat pergi ke sana.
Begitupun Berta.
Berduaan lebih indah. "Kita duduk di situ saja, Poltak," ajak Berta sambil nenunjuk bangku kayu di sisi barat halaman.
Poltak menurut duduk disamping Berta. Seperti raja laron menurut pada ratunya. Pasangan paling setia.
"Poltak, bila kau menikah kelak, jadilah seperti ratu dan raja laron. Setia sampai mati."Â
Begitu nasihat kakek Poltak pada suatu malam. Dulu, dulu sekali. Ketika laron buyar dari sarangnya dan berjatuhan di halaman rumah.
"Jangan seperti belalang sembah," lanjut kakeknya.
"Kenapa rupanya belalang sembah, Ompung," tanya Poltak heran.