Keduanya saling pandang. Tanpa kata-kata. Hanya ada derik jangkrik malam. Seperti mengabarkan perih yanng sama di dua hati. Â
Ada yang tak dapat disembunyikan Poltak dan Berta di bawah sinar rembulan. Rasa rindu yang datang sebelum perpisahan tiba.
"Aku ingin kau memelukku, Poltak," pinta Berta dalam hati. Dia mengharap sebuah kenangan dari paribannya itu.
Sebuah pelukan adalah obat. Penawar rindu yang datang mendera sebelum waktunya.
"Ah, Berta. Inginku, memelukmu. Tapi kutakut dosa, pariban," bisik Poltak dalam hati, seakan tahu pikiran Berta.Â
Poltak meyakinkan diri sendiri. Suara hatinya mengingatkan, "Poltak, kau mau jadi pastor. Tak bolehlah memeluk pariban. Kalian masih kecil pula. Â Dosalah itu."
"Ei. Berta! Poltak! Di mana kalian! Sudah larut malam."Â
Teriakan ibu Berta memecah dinding hening di antara Poltak dan Berta.
"Aku harus pulang, Berta."
Rembulan sudah tinggi. Saatnya dua hati dipisah tirai malam. (Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H