Di rondang ni bulan i,
di topi tao i, marsolu do ahu disi.
Di na lao mulak ahu,
mulak tu solukki,
hujalang ma ibotongki."
["Di bawah terang bulan,
di tepi danau itu,
kukayuh biduk di situ.
Saat aku mau pulang,
kembali ke bidukku,
kujabat erat kekasihku.
Sungguh lembut kudengar suaramu,
saat kau berkata padaku.
Jangan pernah kau lupa, janjimu kekasih, jangan pernah kau ingkari.
Di bawah terang bulan,
di tepi danau itu,
kukayuh biduk di situ.
Saat aku mau pulang,
kembali ke bidukku,
kujabat erat kekasihku."]
"Ah, buah kecapi jatuh tidak jauh dari pohonnya ," pikir Poltak. Dia tahu sekarang dari mana datangnya suara merdu Berta.
"Itu lagu kenangan among dan inong," kata Berta, sedikit lirih.
"Ceritakanlah."Â
"Dulu, waktu among masih perjaka. Dia merantau ke Pangururan. Berkenalan dengan seorang gadis, inong, di Sitanggangbau. Kampung di utara Pangururan. Di mulut terusan Tano Ponggol."
Berta mengambil jeda. Poltak diam. Menunggu lanjutan kisah. Bulan masih setia di atas mereka.
"Tiap malam bulan purnama, among naik biduk melintasi Tano Ponggol, dari selatan ke rumah inong di utara. Pulangnya, kembali naik biduk. Begitu selama tujuh purnama. Setelah itu inong dan among menikah."
"Haa ..., Berta, Â itu macam dongeng putri dan pangeran."