Untuk waktu yang sangat lama, perempuan Batak Toba duduk di belakang laki-laki. Â Baik itu di ruang publik, maupun di ruang domestik. Â Norma adat dalam masyarakat Batak Toba yang partriarkis memang mengatur demikian.
Secara normatif, perempuaan dan laki-laki dalam masyarakat Batak mestinya diperlakukan setara. Ada umpasa, petitih, Batak yang mengatakan "Tinallik randorung bontar gotana. Dos do anak dohot boru nang pe pulik margana. Ai dompak marmeme anak, dompak do tong marmeme boru. Andung ni anak sabulan di dalan, andung ni boru sataon."Â
Arti umpasa itu: "Ditetak (pohon) randorung putih getahnya.  Putra dan putri sama (nilainya) walaupun beda marganya.  Putra diloloh pada mulutnya, putri juga diloloh pada mulutnya.  Ratapan putra sebulan di jalan, ratapan putri setahun lamanya."
Hendak dikatakan di situ, kedudukan anak lelaki dan anak perempuan dalam masyarakat Batak Toba itu setara. Â Karena itu perlakukan terhadap kedua gender itu juga mesti setara.
Tapi itu kata-kata indah yang lazim diujarkan para orangtua, kaum bapak, dalam kegiatan-kegiatan adat. Â Normatif. Kenyataan tidak seindah itu. Sekurangnya sampai tahun 1990-an.
Memasuki penghujung abad-20, gejala pengutamaan gender laki-laki ketimbang perempuan masih kentara. Â Dua hal bisa menjadi indikator: Â pengutamaan anak laki-laki untuk melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi, dan pengutamaan gender laki-laki untuk merantau demi perbaikan ekonomi keluarga.
Hal itu misalnya telah diungkap dalam laporan riset  antropologis  Janet Rodenburg (In the Shadow of Migration, KITLV, 1997). Dia menemukan fakta perempuan harus merawat aset dan keluarga di kampung saat kaum laki pergi merantau ke luar daerah.Â
Tak adilnya, kewajiban merawat aset itu tak didukung dengan hak kepemilikan. Karena Batak menganut sistem patriarkat, maka hak kepemilikan aset terutama tanah berada di tangan laki-laki.  Karena itu, seperti disimpulkan Indira J. Simbolon misalnya, perempuan Batak tak bisa mengambil keputusan apapun terkait aset (Peasant Women and Access to Land :Customary Law, State Law and Gender-Based Ideology, Wageningen, 1998).
Patriarki dalam masyarakat Batak Toba secara tegas telah menempatkan laki-laki sebagai gantungan hidup keluarga. Baik itu bapak maupun anak laki-laki. Itu sebabnya aset ekonomi, peluang pendidikan tinggi, dan opsi perantauan diberikan terutama untuk laki-laki.
Tapi itu dulu. Memasuki abad ke-21, secara senyap, anak perempuan mulai diposisikan juga sebagai gantungan hidup keluarga. Baik kehidupan ekonomi maupun sosial.Â
Dominasi peran anak laki-laki Batak sebagai harapan sosial-ekonomi keluarga mulai diimbangi anak perempuan. Â Kesetaraan nilai gender perempuan dan laki-laki mulai terangkat ke permukaan.
Saya akan menunjukkan gejala kesetaraan gender itu dengan menganalisis lirik lagu-lagu Batak populer. Â Asumsinya, lagu-lagu Batak itu untuk sebagian memang merefleksikan gejala sosial yang terjadi dalam masyarakat.
***
Tahun 1980-an sampai 1990-an, lirik lagu-lagu Batak populer lebih banyak berkisah tentang harapan pada anak lelaki ketimbang perempuan.Â
Anak laki-laki diposisikan sebagai harapan dan tumpuan sosial-ekonomi keluarga. Itu tercermin dari lirik sejumlah lagu Batak yang populer waktu itu. Bahkan menjadi semacam "lagu wajib" yang tetap dinyanyikan sampai hari ini.Â
Saya akan rujuk tiga lagu Batak populer yang paling menonjol di ujung abad ke-20.
Pertama, lagu Poda (Nasihat) karya musisi Tagor Tampubolon (1979) yang pertama kali dinyanyikan Eddy Silitonga.
Lagu itu pada intinya berisi poda, nasihat, dari orangtua kepada anak lelakinya yang pergi merantau. Diingatkan agar menjaga perilaku di rantau orang, sebagai kunci keberhasilan di perantauan.Â
Nasihat utama dalam lagu itu begini. "Ai amang do si jujung baringin di au amongmon.
Jala ho do silehon dalan di anggi ibotomi. Ipe ingot ma ho amang di akka podakki. Asa taruli ho di luat sihadaoan i."
Artinya, "Engkaulah anakku yang menjunjung kehormatan ayahmu ini. Engkau jugalah yang memberi jalan bagi adik-adikmu. Karena itu ingatlah semua nasihatku. Agar terberkati engkau di rantau jauh."
Intinya, anak kelaki (sulung) yang diberangkatkan ke rantau itu adalah harapab untuk menjadi tulang-punggung  sosial-ekonomi keluarga.
Kedua, lagu Lupa Do Ho (Engkau Lupakan) karya musisi Firman Marpaung (1980) yang dipopulerkan oleh Simbolon Bersaudara.
Lagu itu berkisah tentang anak lelaki yang pergi merantau, Â sukses secara sosial-ekonomi, tapi kemudian lupa pada orangtua dan adik-adiknya di kampung.
Berikut sepenggal lirik lagu itu. Â "Manghirim do sude, haha-anggi ibotomi. Anggiat sahat ho hasian, tu tinodoni rohami. Anak siparbagaon tahe, sian na di hutai. Ai tung manghirim do sude amang di gogo mi."Â
Terjemahan bebasnya, "Berharap semua, kakak-kakak dan adik-adikmu. Â Semoga engkau berhasil meraih cita-citamu. Engkau anak yang menjadi andalan kami di kampung. Sungguh kami berharap atas bantuanmu."
Tapi itu harapan kosong. Anak yang diharapkan jadi tulang-punggung keluarga itu memang sukses di rantau. Tapi dia tak perduli pada nasib keluarganya di kampung. Â
Ketiga, lagu Anak Na Burju (Anak yang Baik) karya Edward Soaloon Simatupang (1987) yang dipopulerkan duet Broery Pesolima dan  Emilia Contessa, didukung Trio Lasidos Plus.
Lagu ini berisi doa dan harapan orangtua untuk anak laki-laki yang diberangkatkan ke perantauan. Harapan agar anak itu berhasil dan bisa saling-dukung dengan saudara-saudaranya.
Pesan inti dalam lagu itu begini. "Anggiat ma ture, sude hamu pinompar hi amang. Marsiamin-aminan, marsitungkol-tungkolan. Songon suhat di robean i."
Artinya, "Semoga berhasil, kamu semua keturunanku, anakku. Saling-sokong, saling dukung. Â Seperti keladi di lereng bukit."
Tiga lagu Batak yang sangat populer itu dengan sangat tepat menggambarkan kedudukan dan peran anak laki-laki sebagai harapan dan tulang-punggung ekonomi keluarga.
***
Memasuki  awal abad ke-21, perkembangan masyarakat Batak Toba di kampung halaman diwarnai dua gejala sosial.
Pertama, fakta sosial anak lelaki yang pergi merantau, entah cari kerja atau kuliah, ternyata tak sepenuhnya dapat diandalkan sebagai gantungan ekonomi keluarga di kampung.Â
Kedua, fakta sosial semakin banyak anak perempuan yang merantau ke luar daerah, untuk kuliah dan cari kerja, dan ternyata dapat menyumbang pada kebutuhan sosial dan ekonomi keluarganya di kampung halaman.
Secara senyap, tanpa ribut-ribut, ternyata telah terjadi revolusi kedudukan dan peran perempuan Batak Toba. Gender perempuan kini diperhitungkan sebagai tulang punggung sosial-ekonomi keluarga. Sebagaimana halnya juga gender laki-laki.Â
Umpama, petitih, Batak "Durung do boru, tomburan hula-hula" --Â yang berarti "penerima istri (anak perempuan) adalah tangguk, pemberi istri (orangtua perempuan) adalah tempat sajian lauk ikan -- Â menemukan aktualitasnya.
Maknanya, anak perempuan baik selagi gadis maupun setelah menikah tetap akan memberi dukungan sosial-ekonomi kepada orangtua dan saudara-saudarinya.Â
Itu bukan semata norma yang hampa. Faktanya memang demikian. Anak perempuan Batak Toba kini menjadi tumpuan sosial-ekonomi keluarga juga.
Karena itu, orangtua Batak Toba kini tak hanya memodali anak laki-laki, tapi juga anak perempuan. Â Modal utama yang lazim diberikan adalah pendidikan sampai tingkat sarjana. Itu sebabnya kini semakin banyak anak perempuan Batak yang merantau ke luar daerah untuk kuliah.
Gejala itu ditangkap juga oleh para musisi Batak Toba. Maka terciptalah lagu-lagu Batak yang mengangkat harapan orangtua kepada anak perempuannya.
Salah satu lagu yang fenomenal adalah Boru Panggoaran (Putri Sulung) karya Tagor Tampubolon (20003). Lagu ini pertama kali dinyanyikan sendiri oleh Tagor Tampubolon, berduet dengan Andri Silaen. Sekarang lagu itu sudah dinyanyikan ulang oleh banyak artis Batak dan Youtuber.
Lirik selengkapnya lagu itu adalah sebagai berikut.
"Ho do borukku
Tampuk ni ate atekki
Ho do borukku
Tampuk ni pusu-pusukki
Burju burju maho
Namarsikkola i
Asa dapot ho
Na sinitta ni rohami
Molo matua sogot ahu
Ho do manarihon ahu
Molo matinggang ahu inang
Ho do namanogu-nogu ahu
Ai ho do borukku
Boru panggoaranhi
Sai sahat ma da na di rohami
Ai ho do borukku
Boru panggoaranhi
Sai sahatma da na di rohami."Â
(Kaulah putriku
Gantungan hatiku
Kaulah putriku
Gantungan jantungku
Tekunlah engkau
Menjalani sekolahmu
Agar dapat kau raih
Apa yang kau cita-citakan
Bila aku menua nanti
Kaulah yang menjagaku
Bila aku terjatuh putriku
Kaulah yang menuntunku
Kaulah putriku
Putri sulungku
Semoga cita-citamu tercapai
Kaulah putriku
Putri sulungku
Semoga cita-citamu tercapai.)
Ada banyak artis Batak yang menyanyikan lagu itu dengan versi masing-masing. Saya pilihkan versi Herman Delago Manik, musisi Batak berkebangsaan Austria, berduet dengan penyanyi Retta Sitorus, untuk dinikmati di sini. Lagu itu diaransir Herman Delago dan dinyanyikan dengan iringan orkestra.
Lirik lagu itu sederhana tapi mampu melukiskan dengan tepat harapan orangtua kepada anak perempuannya. Harapan agar kelak sukses sehingga dapat menjadi tumpuan orangtua di hari tuanya.Â
Iramanya terdengar sebagai lantunan doa, sekaligus sebagai elek-elek hu boru, bujukan orangtua kepada putrinya. Itu mencerminkan nilai elek marboru, kasih kepada putri, dalam masyarakat Batak Toba.
Tagor Tampubolon, penggubah lagu itu, mampu menyampaikan dengan bagus gejala revolusi senyap kedudukan dan peran anak perempuan Batak memasuki abad melenium.Â
Anak perempuan Batak kini diam-diam telah menempati posisi setara dengan anak laki-laki, sebagai gantungan sosial-ekonomi bagi keluarga Batak. Bila ada keunggulan anak lelaki Batak yang masih tersisa, maka itu adalah peran sebagai penerus marga, sebagai konsekuensi sistem patrilineal.Â
Dengan adanya gejala kesetaraan semacam itu, maka sudah saatnya orang Batak meninjau-ulang hukum adat waris yang bersifat patriarkat. Bukan hanya anak laki-laki, tapi anak perempuan Batak juga kini semestinya punya hak waris atas aset orangtuanya. (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H