Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

[Sosiologi Kuburan] Alasan Orang Batak Tempo Dulu Bunuh Diri

12 November 2022   06:54 Diperbarui: 15 November 2022   06:29 1357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di balik keindahan Tanah Batak ini, ada derita kemiskinan dan kehilangan orang terkasih yang dapat memicu rasa putus asa (dok. Facebook Dinas Pariwisata Kabupaten Samosir/via kompas.com)

"Komponis senior Batak ternyata telah merekam dan mendokumentasikan gejala bunuh diri orang Batak tempo dulu dalam lirik lagu-lagu gubahan mereka."

Saya mulai dengan satu kisah nyata bunuh diri seorang gadis Batak awal tahun 1970-an.

Kejadiannya di daerah Uluan Toba, Tanah Batak. Tepatnya di huta, kampung, Sorlatong, tetangga huta Panatapan, kampung halamanku.

Suatu sore warga Sorlatong gempar.  Sarmaida yang sejak pagi tak tampak batang hidungnya ditemukan tewas di atas pusara ayahnya di pekuburan kampung. 

Mulutnya berbusa.  Tercium bau putas, racun endrin yang biasa digunakan warga tani membasmi tikus.

Kesimpulannya, Sarmaida tewas maningkot, bunuh diri.

Usut punya usut, Sarmaida rupanya putus asa lantaran ditinggal lelaki kekasihnya yang menikah dengan gadis lain lalu pergi entah ke mana.  Padahal lelaki itu sudah berjanji menikahi Sarmaida di hadapan ibunya.  Semua warga Sorlatong juga sudah tahu rencana pernikahan itu.

Orang kemudian bergunjing.  Sarmaida itu sudah menyerahkan segalanya kepada lelaki sialan itu. Termasuk kesuciannya. Dia tak punya  harga diri lagi. Orang merendahkannya.  

Karena itu, orang menyimpulkan, Sarmaida merasa hidupnya tak berarti lagi.  Lalu timbullah keputusan bunuh diri itu. Tumagon ma langge unang singkoru. Tumagon ma mate unang mangolu -- Lebih baik lengkuas tinimbang jali-jali. Lebih baik mati tinimbang hidup.

***

Merasa hidup tak berarti lagi.  Sendiri, tidak ada yang perduli. Karena itu lebih baik mati saja.

Itu faktor sosio-psikis yang menjadi motif pendorong tindakan bunuh diri.  Diduga itulah yang terjadi pada Sarmaida.

Itu bukan hal baru, tentu saja. Emile Durkeim, sosiolog Prancis, sudah mengungkap hal itu tahun 1897 dalam karya klasiknya, Le Suicide: tude de sosiologie (Suicide: A Study in Sociology).

Bunuh diri, kata Durkheim, adalah kematian langsung atau taklangsung akibat tindakan positif/negatif korban sendiri.  Itu berkait dengan tingkat integrasi sosial yang lemah, yaitu keterlepasan individu dari komunitasnya. Serta tingkat paksaan  norma sosial, yaitu ketakmampuan individu mematuhi norma. 

Durkheim membedakan empat tipe bunuh diri. Egoistik, akibat individu merasa bukan bagian dari komunitasnya lagi. Altruistik, akibat individu merasa terlalu menyatu dengan komunitasnya, sehingga rela mengorbankan nyawa.  Anomik, akibat kekosongan norma sosial sehingga individu gagal menempatkan diri dalam komunitasnya. Fatalistik, akibat norma sosial yang terlalu menekan individu.

Tipe yang dirujuk di sini adalah bunuh diri egoistik.  Bunuh diri akibat merasa terasingkan dari komunitas, merasa tak diperdulikan atau tak dihargai.  Lalu memilih bunuh diri sebagai solusi.

Kasus-kasus bunuh diri dalam masyarakat Batak, sejauh kasus-kasus yang saya ketahui langsung atau diberitakan, lazimnya adalah bunuh diri egoistik. Seperti kasus Sarmaida tadi.

Pertanyaannya, dalam masyarakat Batak tempo dulu, tahun 1950-an sampai 1970-an, apa alasan bunuh diri itu dan dengan cara bagaimana dilakukan? 

***

Selain merujuk pada pengetahuan langsung sendiri, saya akan menjawab pertanyaaan itu dengan merujuk pada lirik lagu-lagu Batak tempo dulu (1950-an sampai 1970-an). Pertimbangannya, lagu-lagu Batak tempo dulu merefleksikan realitas sosial dalam masyarakat saat itu.  Bukan semata pengalaman individu yang dikisahkan, tetapi gejala sosial.

Saya mengidentifikasi dua alasan orang Batak tempo dulu bunuh diri.

Pertama, kehilangan orang yang sangat dikasihi.  

Ada dua lagu Batak lama yang mengisahkan alasan ini secara gamblang. menggunakan frasa telanjang, langsung merujuk pada opsi bunuh diri. Lagu pertama, Huandung Ma Damang  (Kuratapi Suamiku) karya komponis Nahum Situmorang.

Lagu itu mengisahkan kesedihan mendalam seorang istri karena ditinggal mati oleh suami tercinta.  Seorang suami yang dimatanya sangat pengertian, pemaaf, dan lemah-lembut.

Dalam keputus-asaan ditinggal suaminya, istri tersebut lalu meratap, "Na so barani pulut ahu among, maniop sirumantos i. Manang   maniop siudoron da among, manimbung silumallan i. Asa adong i da amang, da dalan hu haroburan hi. Asa adong i da amang, da dalan hu hamaupon hi."

Artinya, "Aku tak sampai hati suamiku, menghunus pisau belati itu. Atau mengikatkan tali (di leherku), melompat dari atas jurang terjun ke dasar danau.Itulah jalanku menuju menuju maut, jalanku menuju kematian."

Itu adalah pikiran telanjang tentang ikhtiar bunuh diri akibat kesedihan mendalam. Kesedihan yang  terjadi karena  si istri merasa hidupnya tak bermakna lagi setelah suaminya berpulang. 

Perempuan Batak menjanda itu tak pernah mudah. Nenekku dan ibuku, keduanya janda lestari, pernah bilang minggu-minggu pertama menjanda adalah masa menghindar dari teman. Sebab ada rasa malu, juga rasa tersingkirkan dari pergaulan. Entahlah, mungkin hanya janda sejati yang bisa merasakannya.

Lagu kedua adalah  Tarunduk Au (Aku Mengiyakan) karya komponis Ismail Hutajulu. Lagu ini mengisahkan kesetiaan seorang lelaki perantau miskin pada gadis kekasih yang ditinggal di kampung. 

Sebelum berangkat ke rantau, lelaki itu diingatkan gadis kekasihnya agar tak pibdah ke lain hati. Tapi ternyata justru hati gadis itu yang berpaling darinya dan menikah dengan lelaki lain.

Lelaki setia itupun merana, putus asa, merasa hidupnya tak bermakna. Pikirnya, lebih baik mati muda saja. Sebab di rantau juga tak seorangpun yang perduli padanya.

Dalam keputus-asaannya, dia menjerit, "Tu paninghotan ma hape. Da luluanhu tondinghu. Sotung sumolsol ho muse. Tu au anakni na pogos on."

Artinya, "Bunuh diri itulah. Kan kucari kasihku. Jangan kau sesali kelak.  Aku anak si miskin ini."

Lelaki itu merasa dirinya tiada guna. Sudah miskin, gagal di rantau orang, ditinggal kawin pula oleh kekasih.

Lebih baik mati saja. Katanya diujung ratapan: "Asa tung sombu sombu ma roham tu au da ito." "Biar puas, puaslah hatimu padaku kekasih."

Kedua, kemiskinan yang tak tertanggungkan lagi.

Niat kuat bunuh diri akibat kemiskinan yang sedemikian parah, tak tertanggungkan, secara telanjang terbaca dalam lirik lagu Nangkok Au hu Dolok (Naik Aku ke Bukit) karya komponis Nahum Situmorang. 

Subyek lagu itu sedemikian miskinnya. Tak ada orang lain dalam komunitasnya yang seburuk itu nasibnya. Sehingga dia  merasa bukan bagian dari komunitas itu.

Tak kuat menanggung derita akibat kemiskinannya, subyek lagu itu kemudian berteriak kepada alam agar nyawanya dicabut saja.

Katanya dalam nada putus asa yang luar biasa,  "Sintakkon au da porhas. Lingkuppon au sombaon. Buatton au da begu. Unang hutaon na songonon."

Artinya, "Sambarlah aku ya petir. Lenyapkanlah aku ya dewa. Ambillah aku ya hantu. Agar ku lepas dari derita ini."

Kata-kata seperti itu mencerminkan kekalahan subyek terhadap hidup. Dengan segala derita kemiskinan, baginya mati lebih baik ketimbang hidup. 

Begini lirik lagu itu selengkapnya:

Nangkok au hu dolok
Tuat au hu toruan da inang
Hubereng hu siamun
Hubereng hu hambirang
Sude mauli bulung
huida humaliang
Beha ma au da hundul
au martutungkian

Huingot langkakki huingot i
las so marujung da inang
Nunga sambor nipingku
parsibaran lapa-lapa
Didok sibaranhi do
au si godang hangalan
Mate ma au
mate di paralang-alangan

Sintakkon au da porhas
Lingkuppon au sombaon
Buatton au da begu
Unang hutaon na songonon

Tumagon nama langge dainang
Unang sikkoru amonge
Tumagon nama au mate dainang
Unang mangolu amonge."

(Naik aku ke bukit
Turun aku ke lembah oh ibu
Kulihat ke kanan
Kulihat ke kiri
Semua orang bahagia
kulihat sekelilingku
Sedangkan aku hanya terduduk
tunduk bertopang dagu.

Kuingat langkahku kuingat
tiada ujung oh ibu
Sudah buruk mimpiku
orang bernasib ampas
Kata nasibku
aku banyak halangan
Matilah aku
mati di masa muda.

Sambarlah aku ya petir
Lenyapkanlah aku ya dewa
Ambillah aku ya hantu
Agar ku lepas dari derita ini.

Lebih baik lengkuas oh ibu
Ketimbang jali-jali oh ayah
Lebih baik mati oh ibu
Tinimbang hidup oh ayah.)

Untuk membantu menghayati betapa dahsyat lirik atau teks lagu itu, saya sajikan di sini rekaman tahun 1970-an dari "Trio Golden Heart", trio penyanyi Batak legendaris. Lagu itu dinyanyikan dalam irama slow rock.


Tidakkah lirik dan iramanya menegakkan bulu roma? Begitu gelap dan menekan. 

Bagusnya, Trio Golden Heart menambahkan satu petuah sebagai penutup lagu itu. Katanya, "Manukni si langge, hotek-hotek lao marpira. Unang ho mandele, tangiang do mula ni tua."

Artinya, "Ayam si langge, berkotek hendak bertelur. Jangan kau putus asa, doa awal mula berkah."

***

Tahun 1950-an sampai 1970-an, ketika tiga lagu bermuatan niatan bunuh diri itu populer, kehidupan masyarakat Batak diwarnai dua gejala sosionomi penting. Pertama, kondisi kemiskinan yang parah dan, kedua, gerak merantau sebagai solusi kemiskinan.

Ketiga lagu Batak itu -- yang digubah komponis Batak senior -- dengan demikian mencerminkan kondisi sosionomi dan suasana sosiopsikis yang dialami orang Batak Toba di masa itu.

Senyatanya, memang banyak orang Batak yang dilanda putus asa karena kemiskinan yang tak berujung waktu itu. Banyak pula muda-mudi Batak yang putus asa lantaran ditinggal kawin oleh kekasihnya di kampung atau di perantauan. 

Saya tak hendak menyimpulkan bahwa masalah kemiskinan yang parah  dan kehilangan orang terkasih telah menimbulkan gelombang bunuh diri dalam masyarakat tempo dulu. Tidak, tak hendak. Jauh-jauhlah yang macam itu. 

Tapi saya juga tak hendak menampik kenyataan. Memang ada orang Batak tempo dulu yang bunuh diri karena tak mampu menanggung derita akibat kemiskinan atau kehilangan orang terkasih.

Mereka adalah korban-korban bunuh diri egoistik. Orang-orang yang bunuh diri karena merasa kalah atau gagal dalam kehidupan, merasa tersingkirkan, dan merasa hidupnya tak berarti lagi.

Tapi kini masyarakat Batak sudah jauh lebih maju dan terbuka. Baik secara sosionomi maupun sosiopsikis. Berkat pembangunan ekonomi, budaya, dan religi. 

Semoga kini dan nanti tak ada lagi orang Batak yang berniat atau bahkan melakukan bunuh diri, akibat derita kemiskinan ataupun nelangsa kehilangan orang terkasih. 

Saya kutipkan lagi nasihat Trio Golden Heart:  

 "Manukni si langge, hotek-hotek lao marpira. Unang ho mandele, tangiang do mula ni tua." (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun