Merasa hidup tak berarti lagi. Â Sendiri, tidak ada yang perduli. Karena itu lebih baik mati saja.
Itu faktor sosio-psikis yang menjadi motif pendorong tindakan bunuh diri. Â Diduga itulah yang terjadi pada Sarmaida.
Itu bukan hal baru, tentu saja. Emile Durkeim, sosiolog Prancis, sudah mengungkap hal itu tahun 1897 dalam karya klasiknya, Le Suicide: tude de sosiologie (Suicide: A Study in Sociology).
Bunuh diri, kata Durkheim, adalah kematian langsung atau taklangsung akibat tindakan positif/negatif korban sendiri.  Itu berkait dengan tingkat integrasi sosial yang lemah, yaitu keterlepasan individu dari komunitasnya. Serta tingkat paksaan  norma sosial, yaitu ketakmampuan individu mematuhi norma.Â
Durkheim membedakan empat tipe bunuh diri. Egoistik, akibat individu merasa bukan bagian dari komunitasnya lagi. Altruistik, akibat individu merasa terlalu menyatu dengan komunitasnya, sehingga rela mengorbankan nyawa. Â Anomik, akibat kekosongan norma sosial sehingga individu gagal menempatkan diri dalam komunitasnya. Fatalistik, akibat norma sosial yang terlalu menekan individu.
Tipe yang dirujuk di sini adalah bunuh diri egoistik. Â Bunuh diri akibat merasa terasingkan dari komunitas, merasa tak diperdulikan atau tak dihargai. Â Lalu memilih bunuh diri sebagai solusi.
Kasus-kasus bunuh diri dalam masyarakat Batak, sejauh kasus-kasus yang saya ketahui langsung atau diberitakan, lazimnya adalah bunuh diri egoistik. Seperti kasus Sarmaida tadi.
Pertanyaannya, dalam masyarakat Batak tempo dulu, tahun 1950-an sampai 1970-an, apa alasan bunuh diri itu dan dengan cara bagaimana dilakukan?Â
***
Selain merujuk pada pengetahuan langsung sendiri, saya akan menjawab pertanyaaan itu dengan merujuk pada lirik lagu-lagu Batak tempo dulu (1950-an sampai 1970-an). Pertimbangannya, lagu-lagu Batak tempo dulu merefleksikan realitas sosial dalam masyarakat saat itu. Â Bukan semata pengalaman individu yang dikisahkan, tetapi gejala sosial.
Saya mengidentifikasi dua alasan orang Batak tempo dulu bunuh diri.