Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #099] Malaikat Kecil Beringus Tanpa Sayap

3 November 2022   08:32 Diperbarui: 3 November 2022   10:46 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Poltak masih bertahan dengan kesadarannya dalam pusaran air di dasar Situmurun.

Dia masih mendaraskan doa dalam hati. "Tuhan kasihanilah aku."

Poltak sungguh mengharap Yesus turun dari salib-Nya. Lalu berjalan di atas air danau dan menjulurkan tangan-Nya mengangkat tubuhnya dari bawah air.

Sekurangnya, dia berharap, Tuhan mengirim malaikatnya. Terbang dari Surga lalu menyelam ke dasar Situmurun untuk menolong dirinya

Itu kira-kira seperti seekor elang melesat terjun ke danau, lalu terbang kembali ke udara dengan seekor ikan dalam cengkeramannya.

Tapi tak ada Yesus datang berjalan di atas air. Tak juga malaikat turun dari langit ke Situmurun.

Sementara itu di permukaan  danau dan di atas kapal terjadi kepanikan.

"Poltak tenggelam! Tenggelam!" Binsar dan Bistok berteriak-teriak sambil menangis.

"Buntora! Badia! Hisar! Menyelam kalian! Cari Poltak di bawah!" Tulang Juangsa memberi perintah dari haluan sambil melepas pakaiannya.

Tiga anak Binangalom itu langsung menyelam ke dasar air terjun. Mereka sudah terbiasa melakukannya. Sudah paham cara keluar dari pusaran air di bawah.

"Binsar! Bistok! Naik ke kapal!" Ompung Golom berteriak, sambil menjulurkan galah bambu untuk jalan naik.

Bersamaan dengan itu, tulang Juangsa terjun ke danau. Lalu berenang cepat ke arah air terjun.

Di dasar air terjun, Poltak masih terperangkap dalam pusaran air. Dia masih tetap sadar dan bisa bertahan karena membuang nafas sedikit-sedikit. 

Tapi persediaan udara dalam paru-paru Poltak sudah makin tipis. Dia merasa dadanya akan meledak.

Setelah melepas sisa udara terakhir di paru-parunya, Poltak mulai kehilangan kesadaran dirinya. Air mulai memasuki lubang hidung hidung dan pangkal tenggorokannya.

Dia tiba-tiba merasa dirinya berada di dalam sebuah sumur gelap. Di atas, di bibir sumur, ada cahaya dan siluet seseorang sedang mengulurkan tangan padanya.

Poltak mengulurkan tangannya menyambut uluran tangan sosok tersebut. Jaraknya sangat jauh. Tapi entah bagaimana caranya, tangan sosok misterius itu berhasil menangkap pergelangan tangannya. Lalu menariknya cepat ke atas. 

Tiba di atas, barulah Poltak bisa mengenali sosok misterius penolongnya. Itu neneknya sendiri. Dia langsung membenamkan diri ke dalam pelukan hangat neneknya.

"Dapat! Aku dapat dia!" Buntora muncul di permukaan sambil berteriak. 

Buntora berhasil menemukan dan menangkap tangan Poltak dalam pusaran di dasar air terjun. Lalu membawanya naik ke permukaan. Badia dan Hisar menyusul muncul di samping Buntora, ikut mengangkat tubuh Poltak.

 "Mauliatema, Tuhan!" Tulang Juangsa meneriakkan syukur. Lalu merangkul tubuh Poltak dan membawanya naik ke geladak haluan kapal.

Tubuh Poltak segera dibaringkan di atas geladak. Ompung Golom segera memeriksa nadi lehernya. "Selamat dia!" Teriaknya. Nadi Poltak masih berdenyut. "Ada nafasnya!" Dia berteriak lagi, setelah menaruh jarinya di depan lubang hidung Poltak.

"Poltak. Bangun kau, amang." Poltak mendengar suara neneknya menyuruh bangun.

Poltak perlahan membuka matanya. Samar-samar dia melihat wajah-wajah orang berkerumun di atas mukanya. 

Perlahan-lahan wajah-wajah itu makin jelas tampak. Ompung Golom, Binsar, dan Bistok di sebelah kanan. Tulang Juangsa, Badia, dan Hisar di sebelah kiri. 

Lalu di tengah, tepat di atas mukanya, ada wajah Buntora lengkap dengan sepasang ingus hijau keluar-masuk kedua lubang hidungnya. Itulah wajah malaikat kecil penolongnya, beringus tanpa sayap.

"Mauliate, Tuhan. Kau masih hidup, Poltak." Binsar bersyukur, sambil menggoyang-goyang dada Poltak.

Bersamaan dengan itu, Poltak terbatuk dan memuncratkan air dari mulutnya, tepat menyemprot wajah Buntora, malaikat penolong itu. Buntora kaget, terdangak, lalu jatuh telentang.

"Horas! Horas! Horas!" Ompung Golom, diikuti yang lain, serentak menyorakkan ucapan selamat dan syukur.

Bersamaan dengan itu, Poltak bangkit duduk. Rona wajahnya mulai tampak memerah. Tanda darahnya sudah mengalir normal dalam tubuh.

Ompung Golom berlari ke ruang kemudi, mengambil segenggam beras yang selalu sedia di situ, lalu kembali lagi dan segera menaburkan beras di kepala Poltak sambil berkata, "Horas ma tondim amang madingin, jala pir ma tondim amang matogu." 

Itu adalah doa boras si pir ni tondi, beras penguat jiwa. Doa pemulihan dan penguatan kembali tondi, jiwa, yang sudah hampir lepas dari tubuh Poltak.

Detik-detik yang sangat menakutkan lewat sudah.

"Sudah aman. Kita pulang," kata Ompung Golom. "Pakai baju kalian!" teriaknya sambil beranjak ke bilik kemudi.

Brrr. Anak-anak itu baru tersadar mereka telanjang bulat dari tadi. Baru terasakan udara dingin yang menusuk. Tubuh mereka bergetar. Geligi gemerutuk.

Buru-buru mereka mengenakan pakaian masing-masing. Juga Poltak, yang semangat dan tenaganya berangsur pulih.

Haluan kapal berputar mengarah ke selatan, lalu laju meninggalkan Situmurun menuju teluk Binangalom.

Keenam anak itu berdiri di haluan, menatap ke arah Situmurun yang semakin jauh ditinggal kapal. Air terjun itu tetap indah. Menyembunyikan bahaya di dasarnya. 

Poltak tahu benar seperti apa bahaya di dasar Situmurun itu. Dia baru saja lepas dari sana.

"Mauliate, Buntora. Kau itu malaikat penolongku." Poltak berterima-kasih kepada Buntora, sambil merengkuh bahunya. 

Buntora tersenyum, perasaannya antara haru dan bangga, hingga sepasang ingus hijau kembali muncul di jedua lubang hidungnya.

"Dia ini jelmaan Polmer," pikir Poltak. Binsar dan Bistok punya pikiran serupa.

Dari bilik kemudi, Ompung Golom memandang lekat pada Poltak.

"Siapa anak ini sebenarnya?" tanyanya dalam hati.

Dia teringat akan penglihatannya tadi di dasar air terjun Situmurun. Penglihatan yang kini membuat seluruh bulu romanya kembali tegak. 

Dalam penglihatannya, Poltak berada dalam pelukan seorang perempuan muda cantik berbusana ulos ragidup Batak. Tiba-tiba muncul seorang perempuan tua berselempang ulos pinunsaan , ulos tinggi terindah. Dia terlihat bercakap-cakap dengan perempuan muda itu. Lalu perempuan muda tadi menyerahkan Poltak ke tangan perempuan tua itu.

Perempuan muda itu kemudian masuk menyelam ke dasar air terjun, membentuk citra tubuh seekor ular besar dengan kulit bermotif ulos ragidup.

Saat berpaling lagi ke arah perempuan tua itu, dia tak melihat siapapun di sana. Hanya ada Juangsa dan Buntora, Badia, serta Hisar sedang mengangkat Poltak ke atas permukaan air.

"Poltak ini pasti bukan anak sembarangan," simpul Ompung Golom dalam hati. Dia berjanji pada dirinya tak akan menceritakan penglihatannya kepada siapapun. "Biarlah itu jadi rahasia Situmurun," katanya dalam hati.

Matahari hampir terbenam ketika kapal belok kiri memasuki teluk Binangalom. Langit barat berwarna jingga. Pantulan cahayanya berpendar di permukaan danau. Menciptakan sebuah panorama jelang senja yang hangat dan indah.

Keenam anak itu sudah menemukan kegembiraannya lagi. Mereka berlompatan naik ke atap kapal. Lalu duduk berendeng di situ, tenang, menikmati saujana surya guling ke peraduan di ufuk barat. (Bersambung)

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun