"Binsar! Bistok! Naik ke kapal!" Ompung Golom berteriak, sambil menjulurkan galah bambu untuk jalan naik.
Bersamaan dengan itu, tulang Juangsa terjun ke danau. Lalu berenang cepat ke arah air terjun.
Di dasar air terjun, Poltak masih terperangkap dalam pusaran air. Dia masih tetap sadar dan bisa bertahan karena membuang nafas sedikit-sedikit.Â
Tapi persediaan udara dalam paru-paru Poltak sudah makin tipis. Dia merasa dadanya akan meledak.
Setelah melepas sisa udara terakhir di paru-parunya, Poltak mulai kehilangan kesadaran dirinya. Air mulai memasuki lubang hidung hidung dan pangkal tenggorokannya.
Dia tiba-tiba merasa dirinya berada di dalam sebuah sumur gelap. Di atas, di bibir sumur, ada cahaya dan siluet seseorang sedang mengulurkan tangan padanya.
Poltak mengulurkan tangannya menyambut uluran tangan sosok tersebut. Jaraknya sangat jauh. Tapi entah bagaimana caranya, tangan sosok misterius itu berhasil menangkap pergelangan tangannya. Lalu menariknya cepat ke atas.Â
Tiba di atas, barulah Poltak bisa mengenali sosok misterius penolongnya. Itu neneknya sendiri. Dia langsung membenamkan diri ke dalam pelukan hangat neneknya.
"Dapat! Aku dapat dia!" Buntora muncul di permukaan sambil berteriak.Â
Buntora berhasil menemukan dan menangkap tangan Poltak dalam pusaran di dasar air terjun. Lalu membawanya naik ke permukaan. Badia dan Hisar menyusul muncul di samping Buntora, ikut mengangkat tubuh Poltak.
 "Mauliatema, Tuhan!" Tulang Juangsa meneriakkan syukur. Lalu merangkul tubuh Poltak dan membawanya naik ke geladak haluan kapal.