Tentu kesimpulan seperti itu terbuka untuk diperdebatkan. Sebab terlalu banyak sudut pandang tentang sisi-sisi positif dan negatif "sarat PR" dan "bebas PR" yang harus dipertimbangkan. Dari sisi edukasi, psikologi, sosial, sampai ekonomi.
Jadi, apakah sekolah akan menerapkan metode "bebas PR" seperti pengalaman Poltak, atau metode "sarat PR" seperti pengalaman Tiur, anak perempuan Poltak?
Menurut hemat saya, hal itu sebaiknya diputuskan dalam suatu rembug antara guru (sekolah) dan orangtua murid. Â Harus disadari, PR (ala Tiur) ataupun tugas non-PR (ala Poltak) itu di luar kontrol langsung sekolah, sehingga dalam prakteknya anak dan orangtuanya yang harus bertanggungjawab. Â Jadi apakah sekolah akan menerapkan metode PR atau tugas non-PR, dan seperti apa penerapannya, pertama-tama harus didasarkan pada pendapat orangtua.Â
Satu hal perlu diingat, sekolah itu sejatinya salah satu ajang bahagia untuk anak. Karena itu jangan biarkan PR atau semacamnya itu merampas kebahagian bersekolah dari anak. (eFTe)