Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kisah Dua Generasi: Ayah Bebas PR, Anak Sarat PR

31 Oktober 2022   11:28 Diperbarui: 2 November 2022   11:30 1194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak jenuh mengerjakan PR (Foto: Thinkstock via kompas.com)

Manakah yang terbaik? Murid diberi PR, atau dibebaskan dari PR?

Silahkan berdebat sampai tua. Kesimpulannya pasti sebuah daftar perbandingan kelebihan dan kekurangan antara "sekolah sarat PR" dan "sekolah tanpa PR". Lalu saran untuk mengeliminasi kekurangan pada dua pilihan itu.

Selanjutnya?

Ya, kelompok pro-PR tetap mendukung PR dan kelompok kontra-PR tetap mengharamkan PR.

Saya tak tertarik membuat daftar keunggulan dan kelemahan semacam itu. Hal-hal tersebut dapat diperoleh dengan mudah di berbagai situs internet.

Saya hanya ingin berbagi kisah tentang Poltak dan anak perempuannya Tiur -- keduanya pseudonim. Kisah perbandingan dua generasi tentang PR semasa sekolah dasar.

***

Saya mulai dengan kisah Tiur.

Poltak menyekolahkan Tiur di sebuah SD swasta ternama di Jakarta Selatan tahun 2000-an sampai awal 2010-an. Orangtua di Jaksel umumnya melabelinya "sekolah bagus dan mahal".

Bagusnya itu relatif, tapi mahalnya mutlak. Silahkan ditafsir sendiri.

Mata pelajaran (mapel) di SD tersebut sama saja dengan di SD lain di Jakarta. Sama-sama merujuk Kurikulum 2006.

Kelas 1-3 ada mapel Matematika, Bahasa Indonesia, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Pendidikan Lingkungan dan Kebudayaan Jakarta (PLKJ), Agama, Penjaskes, dan Kesenian. Di kelas 4-6 ditambah pelajaran IPA, IPS, dan Bahasa Inggris.

Semua baik-baik saja, kecuali soal PR. Ini jadi semacam momok yang bikin stress Tiur dan orangtuanya, pasutri Poltak dan Berta (pseudonim).  

Masalahnya, tiada hari tanpa PR, sejak kelas 1 sampai kelas 6, kadang dari 3 mapel sekaligus. Tak perduli sedang masa sekolah atau libur sekolah, selalu ada PR. Seringkali PR itu adalah mengerjakan soal-soal nomor sekian sampai sekian dari buku pelajaran atau buku latihan.

Pertanyaan Poltak dan Berta: Apa gunanya guru, kalau murid masih harus bawa pekerjaan sekolah ke rumah?

"Kalau begitu, apa bedanya guru dengan boss di kantor yang menyuruh stafnya membawa tugas kantor ke rumah?" Poltak menggugat.

Dari pertemuan guru dan orangtua murid samar-samar terbuka alasannya. Rupanya guru harus mengejar target-target penyelesaian Satuan Acara Pengajaran. Sehingga latihan soal di dalam kelas dipindah ke rumah murid dengan pantauan dan bantuan orangtua. "Sebab," ini alasannya, "bukankah pendidikan anak itu tanggungjawab sekolah (guru) dan keluarga (orangtua)?"

Lama-lama tak kuat juga. Berta menyerah. Poltak yang coba menggantikan Berta juga tak bertahan lama.

Solusinya, Tiur diikutkan les di luar sekolah. Saat les itu, Tiur dan kawan-kawannya boleh menanyakan soal-soal PR.  Lalu dikerjakan langsung di situ, dengan bimbingan guru les.

Jadi, begitulah. Bagi Tiur, perlu keterlibatan orangtua dan guru les untuk mengerjakan PR-PR yang diberikan gurunya. "Jadi, PR itu tanggungjawab siapa sebenarnya, Murid, orangtua, atau guru les?" tanya Poltak tak habis pikir.

Lantas, apa hasil dari pemberian PR yang sudah menjadi semacam "teror" itu bagi Tiur?

Dua hal yang bisa dikatakan.  Pertama, nilai-nilai UTS dan UAS-nya bagus-bagus -- sebagian karena soal-soal UTS dan UAS mirip-mirip soal-soal PR.  Kedua, Tiur lulus Ujian Nasional pada peringkat 5 teratas di sekolahnya.

Ada manfaat, ada korbanan.  Sebagian dari masa kanak-kanak Tiur dibajak oleh PR. Waktu bermain berkurang.  Waktu bermanja-ria dalam keluarga juga berkurang.  Manalah mungkin Tiur bermanja-ria jika Berta mengajarinya mengerjakan PR dengan nada suara tinggi?

***

Sekarang cerita tentang Poltak,

Poltak bersekolah di SD Negeri Hutabolon (pseudonim) di Tanah Batak  tahun 1960-an. Dia benar-benar anak kampung yang bersekolah di SD kampung.

Ciri kampung pada SDN Hutabolon itu terbaca pada guru dan muridnya.  Setelah bubaran sekolah, guru dan murid sama-sama pergi bekerja ke sawah atau ladang. Guru juga petani, murid adalah anak petani.

Jadi, dari awal berdirinya sekolah itu, semasa murid masih menggunakan papan sabak dan grip sebagai media tulis, guru-guru sudah paham pemberian PR kepada murid adalah hal yang sia-sia.  Tidak akan ada waktu bagi murid mengerjakannya, dan tak ada pula waktu bagi guru untuk memeriksanya. Murid dan guru sama lelah sepulang dari sawah arau ladang sore hari.

Jika ada PR yang bisa dibilang PR, menurut pengalaman Poltak sepanjang enam tahun di SD, maka itu adalah tugas mengambar peta Provinsi Sumatera Utara dan Pulau Sumatera di kelas 3 dan peta Indonesia di kelas 4. Selain itu, ada tugas menyelesaikan di rumah gambar yang tak selesai di kelas, semisal gambar perspektif yang harus diwarnai. Kata guru, supaya nilainya bagus, sebab gambar berwarna dinilai lebih bagus ketimbng gambar hitam-putih.

Bukannya tak ada tugas rumah sama sekali. Ada.  Tugas menghafal untuk persiapan pelajaran atau ulangan besok hari.  Misalnya tugas menghafal perkalian dan pembagian , dipastikan waktu kelas 1 dan 2. 

Kalau tak hafal dalam semalam, dipastikan besok harinya betis bebirat merah dilibas guru pakai lidi tunggal. Atau buku-buku jari tangan serasa pecah dihajar pakai belebas kayu.

Guru tak pernah menjelaskan hubungan antara betis dan buku jari tangan dengan hafalan perkalian dan pembagian. 

Tapi Poltak dan kawan-kawannya tahu bahwa satu-satunya cara menghindari sabetan lidi tunggal pada betis, atau hajaran belebas pada buku jari tangan, adalah hafal perkalian dan pembagian.

Tugas menghafal itu berlaku sampai kelas 6. Antara lain menghafal nama-nama ibukota setiap provinsi di Indonesia, nama-nama teluk, selat, dan laut di Indonesia dan dunia, nama-nama negara dan ibukotanya, jenis-jenis hasil bumi dan hasil tambang utama di berbagai daerah di Indonesia, juga menghafal Pancasila dan UUD 1945.

Apakah Poltak dan teman-temannya wajib menghafal? Tidak. Hanya saja, ada konsekuensinya.  Jika tak hafal, nilai ulangannya jeblok, betis disabet lidi atau buku jari tangan dihajar belebas kayu. Masih ada yang lebih keras, kepala digetok pakai belebas kayu ukuran 1 meter atau  jangka kayu besar -- itu jangka untuk papan tulis.

Lantas, bagi Poltak, apa manfaat tugas-tugas hafalan semacam itu? Pelajaran tentang konsekuensi belajar: pengetahuan membawa manfaat, ketidak-tahuan membawa mudarat.  Itu kemudian menjadi karakter "selalu ingin tahu".

Lagi, tanpa PR, Poltak bisa lulus SD para peringkat 3 teratas di sekolahnya. Lebih bai dari Tiur, anaknya, bukan?

Guru-guru Poltak semasa SD dulu selalu menanamkan nasihat ini:  "Kamu bersekolah itu agar kamu lebih cerdas dari bapak-ibumu.  Lihat, bapak-ibumu menjadi petani miskin karena tidak makan sekolah."  

Nasihat guru-guru Si Poltak itu benar belaka. Poltak dan kawan-kawannya tak pernah mendapat bantuan dari orangtua untuk menguasai hafalan materi pelajaran.  Ya, sangat mungkin karena orangtua mereka tidak lebih cerdas dari anak-anaknya.

***

Membanding pelaksanaan persekolahan di SD tahun 1960-an dengan tahun 2000-an, apalagi dengan tahun 2020-an, jelas tak adil. Tingkat perkembangan ilmu-pengetahuan dan teknologi pembelajaran, serta tuntutan pembelajaran, pada tiga era itu jelas sangat berbeda. Apalagi jika membanding antara SD kampung tahun 1960-an dan SD kota tahun 2000-an.  Itu membanding kesemek dan apel.

Tapi mengikuti keriuhan polemik "sekolah bebas PR" tak urung membuat saya berpikir, apakah sekolah sedang kembali ke masa lalu? Ke masa tidak ada PR tapi ada tugas-tugas yang harus digenapi jika tak ingin prestasi belajar di kelas jeblok.

Saya pikir ada perbedaan mendasar antara "PR Tiur" dan "tugas Poltak".   PR Tiur itu terutama demi kinerja guru dan sekolah, agar SAP terpenuhi -- benar Tiur tambah lancar mengerjakan soal-soal, tapi itu adalah hasil sampingan.  Sedangkan tugas Poltak itu terutama demi kinerja belajar Poltak sendiri, agar dia tahu dan kemudian paham -- pemahaman yang diberikan guru kemudian.

Tentu kesimpulan seperti itu terbuka untuk diperdebatkan. Sebab terlalu banyak sudut pandang tentang sisi-sisi positif dan negatif "sarat PR" dan "bebas PR" yang harus dipertimbangkan. Dari sisi edukasi, psikologi, sosial, sampai ekonomi.

Jadi, apakah sekolah akan menerapkan metode "bebas PR" seperti pengalaman Poltak, atau metode "sarat PR" seperti pengalaman Tiur, anak perempuan Poltak?

Menurut hemat saya, hal itu sebaiknya diputuskan dalam suatu rembug antara guru (sekolah) dan orangtua murid.  Harus disadari, PR (ala Tiur) ataupun tugas non-PR (ala Poltak) itu di luar kontrol langsung sekolah, sehingga dalam prakteknya anak dan orangtuanya yang harus bertanggungjawab.  Jadi apakah sekolah akan menerapkan metode PR atau tugas non-PR, dan seperti apa penerapannya, pertama-tama harus didasarkan pada pendapat orangtua. 

Satu hal perlu diingat, sekolah itu sejatinya salah satu ajang bahagia untuk anak. Karena itu jangan biarkan PR atau semacamnya itu merampas kebahagian bersekolah dari anak. (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun