Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kisah Dua Generasi: Ayah Bebas PR, Anak Sarat PR

31 Oktober 2022   11:28 Diperbarui: 2 November 2022   11:30 1194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapi Poltak dan kawan-kawannya tahu bahwa satu-satunya cara menghindari sabetan lidi tunggal pada betis, atau hajaran belebas pada buku jari tangan, adalah hafal perkalian dan pembagian.

Tugas menghafal itu berlaku sampai kelas 6. Antara lain menghafal nama-nama ibukota setiap provinsi di Indonesia, nama-nama teluk, selat, dan laut di Indonesia dan dunia, nama-nama negara dan ibukotanya, jenis-jenis hasil bumi dan hasil tambang utama di berbagai daerah di Indonesia, juga menghafal Pancasila dan UUD 1945.

Apakah Poltak dan teman-temannya wajib menghafal? Tidak. Hanya saja, ada konsekuensinya.  Jika tak hafal, nilai ulangannya jeblok, betis disabet lidi atau buku jari tangan dihajar belebas kayu. Masih ada yang lebih keras, kepala digetok pakai belebas kayu ukuran 1 meter atau  jangka kayu besar -- itu jangka untuk papan tulis.

Lantas, bagi Poltak, apa manfaat tugas-tugas hafalan semacam itu? Pelajaran tentang konsekuensi belajar: pengetahuan membawa manfaat, ketidak-tahuan membawa mudarat.  Itu kemudian menjadi karakter "selalu ingin tahu".

Lagi, tanpa PR, Poltak bisa lulus SD para peringkat 3 teratas di sekolahnya. Lebih bai dari Tiur, anaknya, bukan?

Guru-guru Poltak semasa SD dulu selalu menanamkan nasihat ini:  "Kamu bersekolah itu agar kamu lebih cerdas dari bapak-ibumu.  Lihat, bapak-ibumu menjadi petani miskin karena tidak makan sekolah."  

Nasihat guru-guru Si Poltak itu benar belaka. Poltak dan kawan-kawannya tak pernah mendapat bantuan dari orangtua untuk menguasai hafalan materi pelajaran.  Ya, sangat mungkin karena orangtua mereka tidak lebih cerdas dari anak-anaknya.

***

Membanding pelaksanaan persekolahan di SD tahun 1960-an dengan tahun 2000-an, apalagi dengan tahun 2020-an, jelas tak adil. Tingkat perkembangan ilmu-pengetahuan dan teknologi pembelajaran, serta tuntutan pembelajaran, pada tiga era itu jelas sangat berbeda. Apalagi jika membanding antara SD kampung tahun 1960-an dan SD kota tahun 2000-an.  Itu membanding kesemek dan apel.

Tapi mengikuti keriuhan polemik "sekolah bebas PR" tak urung membuat saya berpikir, apakah sekolah sedang kembali ke masa lalu? Ke masa tidak ada PR tapi ada tugas-tugas yang harus digenapi jika tak ingin prestasi belajar di kelas jeblok.

Saya pikir ada perbedaan mendasar antara "PR Tiur" dan "tugas Poltak".   PR Tiur itu terutama demi kinerja guru dan sekolah, agar SAP terpenuhi -- benar Tiur tambah lancar mengerjakan soal-soal, tapi itu adalah hasil sampingan.  Sedangkan tugas Poltak itu terutama demi kinerja belajar Poltak sendiri, agar dia tahu dan kemudian paham -- pemahaman yang diberikan guru kemudian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun