Tapi bukan umat Tuhan rupanya kalau cobaan tidak datang bertubi-tubi. Hal itu sudah terbukti pada Ayub, seperti dikisahkan dalam Kitab Suci Perjanjian Lama.
Seminggu lalu, tiga bunga yang sudah menjadi pentil jambu itu kepergok tergeletak di tanah pekarangan. Gugur, jatuh.Â
Betapa marah dan kecewanya Poltak. Hatinya sakit, teramat sakit. Dia merasa di-pehape total oleh pihon jambu air cincalo itu.Â
Kalau di-pehape cewek, Â dulu, Poltak masih bisa kuat. Masih bisa cari cewek lain. Tapi kalau di-pehape semata wayang pohon jambu air di pekarangan sendiri, wah, tak terperi sakitnya. Sebab tak ada pohon jambu lain di situ sebagai gantinya.
Maka meradanglah Poltak. Tanpa perlu diminta Berta, dia langsung menghunus golok Jaka Sembung lalu mengayunkannya menetak batang jambu air ahli pehape itu.
"Ingat perumpamaan pohon ara! Pembunuhan pohon jambu itu baru boleh tahun depan." Berta mengingatkan. "Ya, Tuhan, ampunilah hambamu ini." Poltak tersadar.Â
Tapi Poltak bukan Ayub. Imannya pun tak adalah walau sekecil biji sesawi. Maka sakit hatinya pada pohon jambu air itu tak terobati.
Jangankan melihat pohon jambu itu, mendengar orang  mengucap frasa "jambu air" saja Poltak bisa naik pitam. Itulah dahsyatnya rasa marah dan kecewa akibat di-pehape.
Dan itulah yang tetjadi tadi pagi, saat Mpok Leha menawarkan jambu air.
Sebenarnya bukan salah Mpok Leha, bukan pula salah jambu air . Tapi salah otak Poltak yang gak kuat di-pehape jambu air.
Jadi, kalau kamu berkomentar di bawah ini, sebaiknya hindari frasa "jambu air". Atau kamu belum tahu setajam apa golok Jaka Sembung? (eFTe)