Begini musababnya. Di pekarangan rumahnya di Gang Sapi tumbuhlah sepokok jambu air jenis cincalo. Usianya mungkin sudah sekitar tujuh tahun. Tumbuh dari biji yang ditanam di situ.
Sudah tujuh tahun tapi belum berbuah juga itu jambu. Padahal Poltak sudah terapkan resep sadis: membacoki sekujur batang pohon jambu itu menggunakan golok asli cap Jaka Sembung.
Sudah tiga kali dalam tiga Tahun Baru Poltak membacoki pohon jambu itu. Tetap saja dia ogah berbunga.Â
Sudah tiga kali Tahun Baru  pula Berta, istri terkasihnta meminta dengan gemas untuk membunuh pohon jambu itu. "Apa gunanya dia tumbuh di pekarangan ini kalau tak berbuah. Daunnya cuma bikin kotor saja."
Tapi Poltak mengingatkan Berta tentang perumpamaan pohon ara di dalam Injil. Pemilik kebun menyuruh tukang kebun menebang sepokok pohon ara yang tumbuh di tanahnya. Sebab pohon itu tak kunjung berbuah, sehingga bikin kecewa pemilik kebun.
"Tunggulah setahun lagi, Tuan. Hamba akan merawatnya. Semoga dia berbuah tahun depan. Jika tidak, maka Tuan boleh menebangnya."
Permohonan tukang kebun itu berulang sampai tiga kali. Sebab sudah tiga tahun berlalu, pohon ara itu belum juga berbuah. Itu artinya, jika setahun lagi tak kunjung berbuah, pohon ara itu harus ditebang lalu dibakar.
Demi mendengar perumpamaan itu, luluhlah hati Berta. Artinya, pohon jambu di pekarangan itu masih punya waktu sampai tahun depan untuk membuktikan diri bisa berbuah.
Dan memang ada harapan. Â Dua minggu lalu jambu air itu tiba-tiba berbunga tiga kuntum. Rupanya takut akan dibunuh, sehingga dia berusaha berbunga. Walau cuma tiga kuntum. Tapi itu bunga jambu air, bukan?
Melihat tiga kuntum bunga jambu itu, menyesallah Berta karena telah menyuruh Poltak menebangnya.
Poltak juga sumringah. Pikirnya, benarlah ayat-ayat Injil itu. Kesabaran dan ketabahan pada akhirnya akan membuahkan hasil. Pohon jambu berbunga tiga kuntum itu buktinya. Bukanjah itu mukjizat?