Tadi pagi Poltak nyaris naik pitam di Pasar PSPT Tebet Jakarta Selatan.Â
Apa pasalnya?
Begini, wahai para Homo kepoensis. Poltak mau beli bahan-bahan rujak serut: kedondong, mangga muda, ubi rambat, bengkuang, dan pepaya mengkal.
Dasar tidak jodoh, semua bahan itu tak tersedia di lapak Mpok Leha, langganan. "Lagi kosong, Pak Haji," katanya tanpa rasa salah.
Entah sejak kapan Poltak jadi Pak Haji, tak pernah jelas. Yang jelas, wajahnya kusut-masai kecewa.Â
"Ada jambu air, Pak Haji. Segar-segar," Mpok Leha memberi pilihan lain.
Mungkin dia tak tega melihat rona memelas di wajah Poltak. Maksud hatinya menawarkan solusi bahan rujak-merujak.
Tapi Mpok Leha salah. Frasa "jambu air" itu mendadak memicu emosi Poltak. Hampir saja dia memenceti semua tomat dagangan Mpok Leha.
Untunglah Poltak bisa mengendalikan emosi. Berkat latihan intensif menahan diri menghadapi kelakuan Admin K yang super menyebalkan.Â
Bukan tanpa alasan bila Poltak bawaannya mau ngamuk tiap kali dengar frasa "jambu air".
Begini musababnya. Di pekarangan rumahnya di Gang Sapi tumbuhlah sepokok jambu air jenis cincalo. Usianya mungkin sudah sekitar tujuh tahun. Tumbuh dari biji yang ditanam di situ.
Sudah tujuh tahun tapi belum berbuah juga itu jambu. Padahal Poltak sudah terapkan resep sadis: membacoki sekujur batang pohon jambu itu menggunakan golok asli cap Jaka Sembung.
Sudah tiga kali dalam tiga Tahun Baru Poltak membacoki pohon jambu itu. Tetap saja dia ogah berbunga.Â
Sudah tiga kali Tahun Baru  pula Berta, istri terkasihnta meminta dengan gemas untuk membunuh pohon jambu itu. "Apa gunanya dia tumbuh di pekarangan ini kalau tak berbuah. Daunnya cuma bikin kotor saja."
Tapi Poltak mengingatkan Berta tentang perumpamaan pohon ara di dalam Injil. Pemilik kebun menyuruh tukang kebun menebang sepokok pohon ara yang tumbuh di tanahnya. Sebab pohon itu tak kunjung berbuah, sehingga bikin kecewa pemilik kebun.
"Tunggulah setahun lagi, Tuan. Hamba akan merawatnya. Semoga dia berbuah tahun depan. Jika tidak, maka Tuan boleh menebangnya."
Permohonan tukang kebun itu berulang sampai tiga kali. Sebab sudah tiga tahun berlalu, pohon ara itu belum juga berbuah. Itu artinya, jika setahun lagi tak kunjung berbuah, pohon ara itu harus ditebang lalu dibakar.
Demi mendengar perumpamaan itu, luluhlah hati Berta. Artinya, pohon jambu di pekarangan itu masih punya waktu sampai tahun depan untuk membuktikan diri bisa berbuah.
Dan memang ada harapan. Â Dua minggu lalu jambu air itu tiba-tiba berbunga tiga kuntum. Rupanya takut akan dibunuh, sehingga dia berusaha berbunga. Walau cuma tiga kuntum. Tapi itu bunga jambu air, bukan?
Melihat tiga kuntum bunga jambu itu, menyesallah Berta karena telah menyuruh Poltak menebangnya.
Poltak juga sumringah. Pikirnya, benarlah ayat-ayat Injil itu. Kesabaran dan ketabahan pada akhirnya akan membuahkan hasil. Pohon jambu berbunga tiga kuntum itu buktinya. Bukanjah itu mukjizat?
Tapi bukan umat Tuhan rupanya kalau cobaan tidak datang bertubi-tubi. Hal itu sudah terbukti pada Ayub, seperti dikisahkan dalam Kitab Suci Perjanjian Lama.
Seminggu lalu, tiga bunga yang sudah menjadi pentil jambu itu kepergok tergeletak di tanah pekarangan. Gugur, jatuh.Â
Betapa marah dan kecewanya Poltak. Hatinya sakit, teramat sakit. Dia merasa di-pehape total oleh pihon jambu air cincalo itu.Â
Kalau di-pehape cewek, Â dulu, Poltak masih bisa kuat. Masih bisa cari cewek lain. Tapi kalau di-pehape semata wayang pohon jambu air di pekarangan sendiri, wah, tak terperi sakitnya. Sebab tak ada pohon jambu lain di situ sebagai gantinya.
Maka meradanglah Poltak. Tanpa perlu diminta Berta, dia langsung menghunus golok Jaka Sembung lalu mengayunkannya menetak batang jambu air ahli pehape itu.
"Ingat perumpamaan pohon ara! Pembunuhan pohon jambu itu baru boleh tahun depan." Berta mengingatkan. "Ya, Tuhan, ampunilah hambamu ini." Poltak tersadar.Â
Tapi Poltak bukan Ayub. Imannya pun tak adalah walau sekecil biji sesawi. Maka sakit hatinya pada pohon jambu air itu tak terobati.
Jangankan melihat pohon jambu itu, mendengar orang  mengucap frasa "jambu air" saja Poltak bisa naik pitam. Itulah dahsyatnya rasa marah dan kecewa akibat di-pehape.
Dan itulah yang tetjadi tadi pagi, saat Mpok Leha menawarkan jambu air.
Sebenarnya bukan salah Mpok Leha, bukan pula salah jambu air . Tapi salah otak Poltak yang gak kuat di-pehape jambu air.
Jadi, kalau kamu berkomentar di bawah ini, sebaiknya hindari frasa "jambu air". Atau kamu belum tahu setajam apa golok Jaka Sembung? (eFTe)
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI