Tapi sebenarnya tak perlu menunggu seorang Baim Wong untuk membunuh CFW. Â Sejumlah anasir kapitalisme sudah melakukannya secara perlahan.
Gerombolan selebritas Jakarta yang angek (iri) pada eksistensi anak-anak SCBD misalnya pada suatu kesempatan telah menginvasi zebra cross Dukuh Atas.  Mereka tampil di situ memamerkan outfit "sekularis modern" yang mengkhianati ciri underground pada CFW. Aksi para selebritas itu juga diibuhi oleh lenggak-lenggok dua orang gubernur yang digadang-gadang sebagai Capres 2024, Gubernur Jakarta dan Gubernur Jawa Barat.
Hari invasi selebritas itu adalah hari dentang pertama lonceng  pengantar kematian untuk CFD  "Citayaman".
Lonceng pengantar kematian berdentang untuk kedua kalinya saat Menparekraf dan seorang Youtuber menawarkan beasiswa untuk anak-anak SCBD yang putus sekolah, antara lain Bonge.  Pak Menteri tak menyadari bahwa CFW adalah produk kreatif dari kelompok deschooling ala Ivan Illich. Justru karena mereka putus sekolah, maka mereka keluar dari pola pikir baku, lalu masuk ke pola pikir merdeka yang mengantar mereka ke inovasi sosial CFW.  Menyekolahkan mereka secara formal sama saja dengan membunuh kreativitasnya.
Dentang ketiga kali terdengar saat Pemda Jakarta melarang CFD di Dukuh Atas, dan menawarkan pemindahan lokasi ke Monas, TIM, atau Kemayoran. Â Tanpa pernah berpikir bahwa CFD menjadi "hidup" justru karena berada di Zebra Cross Dukuh Atas. Citayam dan Dukuh Atas adalah dua sisi dari satu koin. Â Di luar Dukuh Atas, CFW bukanlah CFW, dan pelakonnya tak bisa lagi disebut anak SCBD.
Pada akhirnya, mungkin bukan pelaku langsung kapitalisme ekonomi kreatif semacam Baim Wong dan para selebritas yang akan membunuh CFW dan mengubur gaya outfit Citayaman. Â Tapi pemerintah sebagai pelayan yang condong pada kepentingan kapitalismelah yang akan membunuhnya. Â Dengan dalih bahwa CFW mengganggu aktivitas ekonomi (kapitalis) di sekitar Sudirman, Pemerintah Jakarta cenderung memilih merelokasi CFW, ketimbang mempertahankannya sebagai "potensi ekonomi kaum marjinal" di Dukuh Atas.
Pertanyaan untuk Pak Gubernur Jakarta sebenarnya sederhana saja. Â Saat meresmikan monumen bambu "Getah-Getih" dulu mengapa Pak Gubernur begitu bangganya bilang inilah monumen dengan bahan termurah yang berdiri di atas tanah termahal di Jakarta? Â Lantas sekarang, kenapa tidak bisa lagi bilang dengan bangga, "Inilah CFW, fesyen jalanan kaum marginal termurah yang dihelat di zebra cross termahal di Jakarta? Atau, apakah Jakarta bukan lagi kota untuk semua? (eFTe)
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H