Gaya outfit yang mereka tampilkan bolehlah disebut gaya "Citayaman". Penjenamaan ini sekaligus merujuk pada Citayam sebagai "area sosionomi marjinal" yang terjepit di tengah aglomerasi Jabodetabek.
Gaya Citayaman itu oleh sejumlah pengamat kemudian ditafsir sebagai bentuk perlawanan pada hegemoni dua gaya mainstream yang sedang berebut hegemoni. Gaya "sekularis modern" seperti dipamerkan oleh para selebritas dan crazy rich lewat akun medsos, dan gaya "agamis tradisional" yang dipromosikan kaum agamis.
Bahkan ada yang mengatakan CFW itu semacam sub-kultur. Semacam perlawanan terhadap hegemoni kultural kaum modernis di satu ujung dan kaum agamis di lain ujung.
Tapi saya pikir itu kesimpulan yang terlalu dini. CFW bukanlah sebuah sub-kultur dan bahkan  tidak mengarah ke sana. Dia tidak hadir di atas sebuah idiologi, atau sistem nilai yang eksklusif, seperti halnya sub-kultur punky dan hippy. Juga belum menunjukkan konsistensi, persistensi, dan sustainabilitas.
Secara sosiologis CFW itu adalah kerumunan sosial (social crowd). Mereka adalah kelompok sosial yang sangat longgar dan cair. Pengikatnya hanya sebatas motif katarsis sosial, pelepasan diri sejenak dari tekanan dan kejenuhan marjinalitas.Â
Mereka tak hendak melawan siapapun atau apapun. Entah itu hegemoni kultur sekularis modern yang ditegakkan kaum kapitalis, atau kultur agamis tradisional yang coba ditegakkan kaum agamis.Â
Hebatnya, karena pertimbangan kepraktisan dan efisiensi biaya dan waktu, secara tak berencana (unintended) anak-anak SCBD itu "menginvasi" kawasan Dukuh Atas-Sudirman. Tepat di jantung operasi kapitalisme Jakarta.Â
Pilihan lokasi strategis itu membuat CFW dengan cepat menarik perhatian khalayak. Â Lalu, lewat kekuatan medsos, menjadi sohor dan viral.Â
Di satu sisi, itu berarti anak-anak SCBD dengan gaya outfit Citayamannya mulai merangsek ke ranah kapitalisme di ruang daring. Lewat konten-konten CFW atau gaya Citayaman di akun-akun medsosnya, mereka menangguk uang lewat adsense dan atau endorse.
Itu sisi manfaatnya (benefit).
Tapi juga ada sisi risikonya. Anak SCBD dengan CFW-nya masuk ke dalam wilayah kerja keserakahan kapitalisme. CFW kreasi anak-anak SCBD rawan dikooptasi kekuatan kapitalisme kota. Bahkan dicaplok lalu dikapitalisasi oleh para kapitalis medsos Jakarta, demi cuan bagi dirinya sendiri.