Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Citayam Fashion Week, Baim Wong, dan Keserakahan Kapitalisme

29 Juli 2022   08:13 Diperbarui: 30 Juli 2022   06:45 1753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Roy (Citayam), Mami (Tanah Abang), dan Oman (Tanah Abang) memanfaatkan zebra cross untuk ajang unjuk pakaian di kawasan Dukuh Atas, Jakarta, Rabu (20/7/2022). (KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO)

CFW, Panggung Ekpresi Kaum Marjinal

Citayam Fashion Week (CFW) itu  adalah penamaan untuk suatu kegiatan "fesyen jalanan" (street fashion show) yang terpusat di selajur zebra cross  di Kawasan Stasiun Dukuh Atas-Sudirman, Jakarta. Kegiatan yang sedang sohor ini aslinya diinisiasi dan dilakoni sekelompok remaja yang datang dari  sekitar Sudirman (Jakarta), Citayam, Bojonggede, dan Depok. 

Sesuai tempat asalnya itu, para pelakon CFW menyebut diri sebagai anak SCBD. Sejumlah nama  tampil sebagai "pesohor"-nya. Sebut misalnya Roy, Jeje "Slebew", Bonge, dan Kurma.

Dengan memanfaatkan lajur zebra cross sebagai catwalk, anak-anak SCBD melenggak-lenggok dengan outfit yang eye catching, bak peragawan dan peragawati. Outfit yang mereka kenakan bukan busana high end  karya disainer top. Tapi produk pabrikan yang dibeli secara terpisah-pisah -- sepatu, celana, atasan, dan topi produk lokal -- dari toko atau pasar yang berbeda-beda.

Boleh dikatakan gaya outfit anak-anak SCBD itu adalah "rakitan sendiri".  Sifatnya  individual dan genuine. Setiap orang tampil apa adanya tapi unik dan, karena itu, menjadi menarik. Tidak monoton, juga tak membosankan.

Anak-anak SCBD itu memiliki relatif kesamaan dalam  ciri sosial. Mereka umumnya datang dari kawasan periferal, pemukiman desa-kota -- antara desa dan kota -- yang semakin tersudut oleh proses kotaisasi dan aglomerasi. Antara lain invasi "perumahan orang kota" dan "pusat perbelanjaan" ke pemukiman mereka.

Dengan kotaisasi dan aglomerasi itu, mereka tidak menjadi orang kota. Karena mereka bukan subjek, melainkan obyek, dalam proses itu. 

Tapi mereka juga bukan orang desa lagi.  Keluarga mereka telah kehilangan tanah pertanian sebagai basis budaya desa. Orangtuanya dan mereka sendiri cenderung mencari nafkah di luar-pertanian (off-farm).  Terutamanya di ranah ekonomi informal yang tumbuh sebagai dampak kotaisasi.

Anak-anak SCBD itu adalah kelompok sosial marjinal yang limbung dalam jepitan "kota" dan "desa".  Kota belum, tapi desa sudah.

Kemarjinalan itu lalu mereka panggungkan di zebra cross Dukuh Atas. Lakonnya  adu gaya ooutfit yang mengambang  di antara dua kutub mainstream. Kutub "sekularis modern" yang branded, kontemporer, mewah, dan mahal di satu ujung. Kutub "agamis tradisional" yang konvensional dan sahaja di ujung lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun