Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #093] Strategi Bugil Panglima Perang dari Aceh

30 Juni 2022   05:53 Diperbarui: 30 Juni 2022   10:19 1321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kapal sandar di pelabuhan Tomok, Samosir. Tempat tujuan akhir darmawisata.  Murid-murid berebutan turun, ingin menjadi yang pertama menginjakkan kaki di tanah Tomok.

"Berta! Jangan dekat-dekat si Poltak kau! Nanti ditangkapnya pula pinggangmu!" teriak Jonder dari pelataran pelabuhan. Dia termasuk anak yang paling duluan turun dari kapal.

"Eh, kenapa rupanya, Jonder! Angek pula kau!" Berta membalas teriakan Jonder.  Jelas, tegas, dan tuntas. "Ah, sedap kalilah ucapanmu Berta," sorak Poltak dalam hati.  Tak terdengar, tapi senyumnya adalah kata-kata.

Poltak memang tak perlu menangkap pinggang Berta.  Sebab Berta tidak oleng hendak jatuh. Dia turun dari kapal, meniti papan jembatan. Di bibir pelataran pelabuhan, Guru Arsenius sudah siap menangkap tangannya.  Juga tangan murid-murid yang lain.

"Horas, Lae," seorang laki-laki usia tigapuluhan menyapa Guru Arsenius.

"Bah, horas, Lae," balas Guru Arsenius.  Lalu, kepada murid-muridnya, "Anak-anak, perkenalkan, ini adik ipar Pak Guru.  Adik kandung istri Pak Guru.  Ayo, salam."

"Anak-anak, kalian boleh panggil saya Tulang Dabutar.  Atau, Tulang saja." Tulang Dabutar menyalami murid-murid satu per satu. 

Murid-murid baru tahu istri Guru Arsenius itu boru Sudabutar, asli kelahiran Tomok. Sidabutar adalah marga raja di Tomok. Pendiri sekaligus pemukim pertama di kampung itu.

"Tulang akan menemani kalian melihat komplek makam Raja Sidabutar.  Ayo, jalan." Tulang Dabutar, bersama Guru Arsenius, memimpin murid-murid berjalan menuju sebuah bukit di pinggir kampung.

"Jonder, akhirnya kau punya tulang juga di sini.  Tulang Dabutar. Ada paribanlah kau." Poltak menggoda Jonder.

"Poltak!" Jonder melotot sambil mengepalkan tinju ke arah Poltak.

"Ah, anak tulang laki-laki semua."  Tulang Dabutar menimpali sambil terkekeh. Murid-murid ikut tertawa.  Bistok  menepuk-nepuk bahu Jonder yang mulutnya manyun. 

Selang sepuluh menit kemudian, "Nah, kita sudah sampai. Ini dia komplek makam Raja Sidabutar." Tulang Dabutar mengangkat tangan kanannya ke arah sebidang tanah yang penuh dengan makam. 

Murid-murid sejenak terdiam.  Suasana tanah makam itu terasa angker.  Tidak seperti umumnya tanah pekuburan di Hutabolon atau Panatapan.

Tulang Dabutar membawa murid-murid menghampiri tiga makam besar yang bersisian.  Dua makam batu, sarkofagus, satu makam semen.

"Ini adalah makam Ompu Soribuntu Sidabutar, pemukim pertama di Tomok. Sekaligus raja pertama. Beliau menjadi raja sekitar pertengahan abad enambelas  sampai pertengahan abad tujuhbelas." Tulang Dabutar menjelaskan sambil menunjuk sarkofagus di sebelah kanan. 

"Ini adalah patung kepala raja," lanjutnya sambil memegang kepala sarkofagus. "Patung kecil di atas kepalanya ini adalah cucunya. Cucu harus didukung agar lebih hidupnya lebih hebat dari kakek dan bapaknya."

Murid-murid mengangguk-angguk. Tanda mereka menyimak penjelasan Tulang Dabutar.

"Nah, ini adalah makam Ompu Niujung Barita, raja kedua." Tulang Dabutar menunjuk makam yang di tengah, sebuah sarkofagus besar. "Beliau adalah cucu raja pertama. Ompu Niujung ini adalah raja yang paling terkenal. Raja yang paling jago berperang.  Banyak musuh dari kampung lain dikalahkannya." 

"Kenapa pipi patung kepalanya merah, Tulang?" Poltak bertanya, menyela penjelasan.

"Oh, itu darah raja-raja musuh yang kalah. Dicampur dengan ramuan tertentu, lalu dioleskan raja di situ. Untuk menakuti musuh lain."

"Bah, kan raja sudah meninggal, Tulang. Bagaimana dia bisa mengoleskan darah di pipi patungnya."

"Oh, tulang lupa kasih tahu.  Raja-raja Batak tempo dulu sudah bikin peti mati semasa hidupnya.  Raja Sidabutar juga begitu.  Sudah bikin peti mati dari batu semasa masih hidup."

Poltak manggut-manggut.  Paham dia.  Sebab kakek dan nenek buyutnya di Hutabolon juga begitu.  Sudah menyiapkan batang, peti mati dari kayu bulat besar, semasa hidupnya.

"Patung kecil di ujung makam batu itu siapa, Tulang?" Berta penasaran, sambil melangkah mendekati patung kecil itu.

"Itu patung Anting Malela boru Sinaga. Tunangan raja kedua.  Dia diguna-gunai raja lain yang cintanya ditolak. Begitulah. Cinta ditolak dukun bertindak. Anting Malels hilang ingatan. Pada hari pesta adat perkawinan, dia menghilang tak tentu rimba. Raja kemudian membuat patungnya sebagai kenangan cinta."

"Bah, hati-hati kau, Berta.  Jangan sampai Si Poltak bikin patungmu pula nanti," ledek Jonder. Semua tertawa.

"Bah, kenapa rupanya. Angek terus kau itu, Jonder," balas Berta.

"Tulang, ini patung orang bugil mirip Jonder ini siapa pula." Poltak menunjuk pada patung lelaki bugil bersongkok di bawah kepala sarkofagus Ompu Niujung Barita.  Semua tergelak-gelak.

"Hahaha, itu Tengku Mohammad Said.  Dia orang Aceh, Islam.  Dia diangkat menjadi panglima perang oleh Ompu Niujung Barita. Gelarnya Panglima Guru Saung Lang Meraji."

"Apa hebatnya dia, Tulang?" tanya Binsar.

"Hebatlah.  Dia bisa mengalahkan musuh tanpa berperang."

"Bah, sakti kalipun! Bagaimana kisahnya, Tulang." Alogo tak bisa menutupi rasa kagumnya.

"Dia cerdas. Strategi perangnya aneh tapi jitu. Dia tahu pantangan besar laki-laki Batak. Pantang melihat kemaluan laki-laki lain. Kalau sampai melihat, bah, bisa sial hidupnya tujuh turunan."

Semua tertawa geli. Anak laki-laki terbahak-bahak, anak perempuan terkikik-kikik.  

"Itu benar, hahaha ...," Tulang Dabutar tak bisa pula menahan tawa. "Kalau pergi perang, Panglima Meraji dan pasukannya hanya membebatkan sehelai ulos di badan.  Tanpa senjata."

Anak-anak menyimak cerita Tulang Dabutar dengan khidmad.  Mulut Jonder sampai ternganga.

"Begitu musuh mendekat, panglima dan semua pasukannya meloloskan ulos sehingga telanjang bulat. Bugil! Melihat laki-laki bugil, musuh langsung tutup mata, lalu berbalik lari tunggang-langgang. Takut sial tujuh turunan kalau sampai melihat kemaluan sesama laki-laki."

"Betul begitu, Tulang?" tanya Poltak percaya tak percaya.

"Yah, begitulah cerita orangtua.  Tulang sendiri kan tak ikut perang waktu itu."

"Tapi itu benar, Tulang, "Adian  menyela.  "Anak perempuan di pancuran kampung kami langsung lari tunggang-langgang kalau Jonder buka celana."  

"Bah, Adian! Babiat kau!" Jonder mengepalkan tinju ke arah Adian.  Semua tertawa geli.

"Sudah, sudah!" Guru Arsenius menenangkan murid-muridnya.  Tapi, tak kuasa menahan geli, dia terkekeh-kekeh juga.

"Nah, ini makam Ompu Solompuan Sidabutar, raja ketiga.  Dia memerintah sekitar tahun seribu delapanratusan." Tulang Dabutar menunjuk makam semen di sebelah kiri.

"Kenapa ada tanda salibnya, Tulang," tanya Alogo terheran-heran.

"Oh, Ompu Solompuan sudah beragama Kristen.  Dia dibaptis oleh Ompui Nommensen, Apostel Batak asal Jerman."

"Raja pertama dan kedua agamanya apa, Tulang,"  tanya Poltak.

"Mereka Parmalim. Mengikuti ajaran Ompu Si Raja Batak."

Parmalim, par ugamo malim, adalah penganut religi asli orang Batak, yaitu kepercayaan kepada dewata Mulajadi Na Bolon, Pencipta Yang Mahakuasa, Asal Mula Segala Yang Ada.

"Baiklah, anak-anak. Sudah siang. Sudah lapar, kan? Kita makan siang dulu di rumah mertua Pak Guru, ya." Guru Arsenius menyudahi kunjungan ke makam raja-raja.

"Lapar, Gurunami!" Anak-anak laku serentak menyahut. 

"Ya, Pak Guru tahu. Nanti habis makan siang, kita main dulu ke pantai Tomok. Setelah itu, pulang."

"Gurunami, jangan Si Alogo yang memimpin doa makan nanti," pinta Gomgom sambil memegangi perutnya yang keroncongan.

"Bah, kenapa rupanya, Gomgom."

"Si Alogo kalau berdoa panjang kalipun. Sampai nama pendeta, gubernur, presiden dan para pahlawan disebutnya dalam doa. Bisa mati kelaparan kita."

"Gomgom!" Alogo melotot.

"Bah, jadi siapalah yang cocok memimpin doa makan siang kita."

"Si Poltak saja, Gurunami," sahut Tiur. "Orang Katolik doanya pendek-pendek." (Bersambung)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun