"Poltak!" Jonder melotot sambil mengepalkan tinju ke arah Poltak.
"Ah, anak tulang laki-laki semua."  Tulang Dabutar menimpali sambil terkekeh. Murid-murid ikut tertawa.  Bistok  menepuk-nepuk bahu Jonder yang mulutnya manyun.Â
Selang sepuluh menit kemudian, "Nah, kita sudah sampai. Ini dia komplek makam Raja Sidabutar." Tulang Dabutar mengangkat tangan kanannya ke arah sebidang tanah yang penuh dengan makam.Â
Murid-murid sejenak terdiam. Â Suasana tanah makam itu terasa angker. Â Tidak seperti umumnya tanah pekuburan di Hutabolon atau Panatapan.
Tulang Dabutar membawa murid-murid menghampiri tiga makam besar yang bersisian. Â Dua makam batu, sarkofagus, satu makam semen.
"Ini adalah makam Ompu Soribuntu Sidabutar, pemukim pertama di Tomok. Sekaligus raja pertama. Beliau menjadi raja sekitar pertengahan abad enambelas  sampai pertengahan abad tujuhbelas." Tulang Dabutar menjelaskan sambil menunjuk sarkofagus di sebelah kanan.Â
"Ini adalah patung kepala raja," lanjutnya sambil memegang kepala sarkofagus. "Patung kecil di atas kepalanya ini adalah cucunya. Cucu harus didukung agar lebih hidupnya lebih hebat dari kakek dan bapaknya."
Murid-murid mengangguk-angguk. Tanda mereka menyimak penjelasan Tulang Dabutar.
"Nah, ini adalah makam Ompu Niujung Barita, raja kedua." Tulang Dabutar menunjuk makam yang di tengah, sebuah sarkofagus besar. "Beliau adalah cucu raja pertama. Ompu Niujung ini adalah raja yang paling terkenal. Raja yang paling jago berperang. Â Banyak musuh dari kampung lain dikalahkannya."Â
"Kenapa pipi patung kepalanya merah, Tulang?" Poltak bertanya, menyela penjelasan.
"Oh, itu darah raja-raja musuh yang kalah. Dicampur dengan ramuan tertentu, lalu dioleskan raja di situ. Untuk menakuti musuh lain."