Kapal sandar di pelabuhan Tomok, Samosir. Tempat tujuan akhir darmawisata. Â Murid-murid berebutan turun, ingin menjadi yang pertama menginjakkan kaki di tanah Tomok.
"Berta! Jangan dekat-dekat si Poltak kau! Nanti ditangkapnya pula pinggangmu!" teriak Jonder dari pelataran pelabuhan. Dia termasuk anak yang paling duluan turun dari kapal.
"Eh, kenapa rupanya, Jonder! Angek pula kau!" Berta membalas teriakan Jonder. Â Jelas, tegas, dan tuntas. "Ah, sedap kalilah ucapanmu Berta," sorak Poltak dalam hati. Â Tak terdengar, tapi senyumnya adalah kata-kata.
Poltak memang tak perlu menangkap pinggang Berta. Â Sebab Berta tidak oleng hendak jatuh. Dia turun dari kapal, meniti papan jembatan. Di bibir pelataran pelabuhan, Guru Arsenius sudah siap menangkap tangannya. Â Juga tangan murid-murid yang lain.
"Horas, Lae," seorang laki-laki usia tigapuluhan menyapa Guru Arsenius.
"Bah, horas, Lae," balas Guru Arsenius. Â Lalu, kepada murid-muridnya, "Anak-anak, perkenalkan, ini adik ipar Pak Guru. Â Adik kandung istri Pak Guru. Â Ayo, salam."
"Anak-anak, kalian boleh panggil saya Tulang Dabutar. Â Atau, Tulang saja." Tulang Dabutar menyalami murid-murid satu per satu.Â
Murid-murid baru tahu istri Guru Arsenius itu boru Sudabutar, asli kelahiran Tomok. Sidabutar adalah marga raja di Tomok. Pendiri sekaligus pemukim pertama di kampung itu.
"Tulang akan menemani kalian melihat komplek makam Raja Sidabutar. Â Ayo, jalan." Tulang Dabutar, bersama Guru Arsenius, memimpin murid-murid berjalan menuju sebuah bukit di pinggir kampung.
"Jonder, akhirnya kau punya tulang juga di sini. Â Tulang Dabutar. Ada paribanlah kau." Poltak menggoda Jonder.