Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pembunuhan Karakter Kompasianer oleh Pengecek Plagiarisme

7 Juni 2022   09:00 Diperbarui: 7 Juni 2022   10:24 1375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Segel pemblokiran akun Kompasiana (Tangkapan layar sebuah akun Kompasiana)

Bayangkan situasi ini.  Suatu pagi, dengan penuh semangat,  Anda hendak mengagihkan artikel di Kompasiana. Tapi akun Kompasiana Anda ternyata telah diblokir Admin. Ada notifikasi aplikasi pengecek plagiarisme telah menemukan total lima artikel Anda terindikasi plagiat. 

Jangan bilang Anda tak merasa down. Bukan terutama karena pemblokiran akun itu. Tapi karena Admin Kompasiana, lewat kerja aplikasi pengecek plagiarisme, telah memvonis Anda sebagai plagiator. Anda merasakan itu sebagai  pembunuhan karakter.

Mayoritas kompasianer mungkin cuma membayangkan situasi itu, tapi tidak demikian dengab kompasianer senior Merza Gamal. Dia sudah menjadi "korban".  Per tanggal 4 Juni 2022, akun Kompasiana miliknya  telah diblokir oleh Admin karena alasan "terindikasi lima kali plagiasi" . 

Sebagai seorang yang sejak 1980-an bergelut dengan penulisan ilmiah, tak sulit bagi saya berempati, ikut merasakan betapa terluka harga diri Uda Merza -- begitu saya menyapanya. Vonis sebagai plagiator itu telah menghancurkan reputasi dan integritas yang dibangun sepanjang karir profesionalnya. 

Bisa dikatakan karakter Uda Merza telah dibunuh. Pembunuhnya adalah aplikasi pengecek plagiarisme tak berjiwa yang mewakili Admin Kompasiana.

Lewat akun baru yang tervalidasi, Uda Merza sudah menjelaskan kronologi dan perihal lima artikel yang teridentifikasi plagiat itu. Jadi saya tak perlu menjelaskannya lagi di sini. Silahkan baca "Tiba Saatnya Kita Berpisah di Kompasiana" (K. 5/6/2022).

Pertanyaan yang mengganggu saya kemudian, benarkah lima  artikel itu plagiat seperti diindikasikan dan, karena itu,  benarkah Uda Merza seorang plagiator?

***

Secara personal, saya tidak mengenal Uda Merza. Saya hanya mengenalnya secara impersonal, lewat tulisan-tulisannya di ragam flatform dengan ragam format. Terutama lewat artikel-artikelnya di Kompasiana.

Bidang minat utama Uda Merza adalah ekonomi dan manajemen syariah. Dia telah menulis tesis S2 tentang hal itu. Lalu menulis sejumlah buku dan artikel tentang hal tang sama. Juga menjadi profesional, konsultan, dan narasumber yang kompeten seputar topik  tersebut.  

Di Kompasiana, setahu saya, Uda Merza adalah sumber paling kredibel menyangkut isu ekonomi dan manajemen syariah. Utamanya soal bank syariah dan wisata halal.

Karena itu pemblokiran akun Uda Merza merupakan kehilangan substantif untuk Kompasiana. Sekaligus juga perampasan hak pembaca Kompasiana mendapat pembelajaran dan pencerdasan soal ekonomi dan manajemen syariah.

Secara logika, dengan reputasi sebagai penulis sejumlah buku dan artikel di luar Kompasiana, Uda Merza mestinya sudah mencapai taraf menjadikan diri sendiri sebagai instrumen anti-plagiarisme. Di alam pikurnya sudah tertanam etika pengutipan tulisan yaitu pengakuan terhadap penulis lain dan sumber tulisan asli.

Uda Merza pasti tidak menggunakan pengecek plagiarisme setiap kali selesai menulis. Karena, berdasar pengalaman panjang sebagai penulis, dia yakin telah mengikuti kaidah penulisan yang bersih dari plagiasi. 

Saya yakin bukan hanya Uda Merza tapi sejumlah kompasianer dengan riwayat kepenulisan yang panjang juga begitu. Sebut misalnya Ronny R. Noor,  I Ketut Suweca, Ludiro Madu, Suprihati, Inosensius I. Sigaze, Jepe Jepe, Irwan R. Sikumbang, dan Khrisna Pabichara.

Mereka itu sudah punya "gaya pribadi", semacam signature, dalam menulis. Dengan signature itulah mereka mendapatkan centang "kredibilitas" biru di Kompasiana.

Karena itu terasa aneh jika Uda Merza kemudian divonis plagiator dan dikenai sanksi keras. Pertama,  degradasi  status dari verifikasi biru ke validasi hijau saat tiga artikelnya terindikasi plagiat. Kedua, pemblokiran akun saat secara kumulatif lima artikelnya terindikasi plagiat.

Jadi, sulit kiranya menerima fakta penulis sekaliber Uda Merza secara sengaja telah melakukan tindak plagiasi sampai lima kali dalam waktu relatif berdekatan. Sebab, pertama, diri Uda Merza mestinya telah menjadi instrumen anti-plagiasi yang mumpuni. Kedua, dia sangat paham dampak  negatif plagiasi terhadap reputasinya sebagai penulis dan pembicara publik. Ketiga, dia tak punya cukup motif untuk melakukan plagiasi karena sudah punya "nama dan dana" sejak sebelum aktif di Kompasiana.  

Kalau begitu, kira-kira apa yang mungkin telah terjadi dalam kasus Uda Merza ini.

***

Dugaan saya penyebabnya adalah "kepercayaan mutlak" Admin Kompasiana terhadap cara kerja dan penilaian aplikasi anti plagiarisme. Itu

Admin telah sepenuhnya mendasarkan keputusannya pada penetapan mesin aplikasi. Jika aplikasi mengindikasi satu tulisan sebagai plagiat maka jadilah seperti itu. Jika diindikasi tiga artikel plagiat, maka otomatis degrafasi status akun. Jika sampai lima artikel, maka otomatis pemblokiran akun. 

Saya mengerti Admin memerlukan bantuan aplikasi untuk bisa cepat mengidentifikasi plagiasi pada ribuan artijel yang diagihkan di Kompasiana tiap hari. Memang mustahil melajukannya srcara manual.

Tapi menerima indikasi plagiat oleh aplikasi sebagai kebenaran mutlak tentang plagiat adalah sebuah kekeliruan yang mungkin berujung pada keputusan yang bersifat tirani. Memberi hukuman mati kepada seseorang yang belum terbukti secara substansil sebagai penjahat. 

Sekadar contoh. Di flatform lain, saya telah membaca artikel kelima Uda Merza yang dinilai plagiat, "Kesepakatan Membangun Ekonomi Hijau untuk Menggapai Net-Zero 2050". Dalam artikel itu ada dua kutipan langsung pernyataan Presiden WEF Borge Brende. Dalan kaidah penulusan ilmiah, hal itu bukan plagiasi, karena kutipan dalam tanda petik dan menyatakan sumber (nama dan sumber). Tapi aplikasi pengecek plagiarisme pasti otomatis mengindikasinya plagiat.  

Tapi harus diingat, semua aplikasi anti plagiarisme bukanlah ororitas pemutus vonis plagiat/plagiator atau bukan. Aplikasi itu hanya memberi indikasi kemungkinan plagiat dengan menandai  (memberi blok berwarna) kata, frasa, klausa, kalimat, dan paragraf yang memiliki kemiripan dengan sumber (basis data) yang tersedia di internet.  Soal ini sudah diterangkan kompasianer Bambang Trim dalam artikel "Salah Paham tentang 'Plagiarism Checker'" (K. 16/4/2018). Silahkan dibaca sendiri.

Jadi sekalipun aplikasi itu menandai 50 atau bahkan 75 persen terindikasi plagiasi -- dalam arti mengandung kemiripan dengan teks terdahulu di internet -- pada satu artikel, tidak serta merta bisa divonis plagiat. Sejauh kaidah pengutipan dipatuhi, maka paling jauh hanya bisa dikatakan artikel itu bermutu rendah, hanya semacam kompilasi opini/fakta.

Keputusan plagiat atau tidak, bukan area wewenang aplikasi pengecek plagiarisme, tapi wewenang otoritas sekelompok orang berwewenang. Di dunia akademik, seperti kerap terjadi, wewenang itu diberikan pada satu tim ilmuwan. Untuk kasus di Kompasiana, wewenang itu ada pada Tim Khusus Admin sebagai "kelompok manusia yang  punya jiwa, kompetensi, dan etika".

Penetapan suatu tulisan sebagai plagiat, dan penulisnya plagiator, adalah pengadilan hak cipta. Proses itu akan memutuskan apakah seseorang benar plagiator atau tidak. 

Di situlah letak tanggungjawab moral tim penilai plagiarisme.  Keputusannya adalah penghakiman, sebab plagiasi adalah tindak kejahatan pencurian hak cipta. Karena itu,selain memerlukan penilaian akademis yang cermat dan pertimbangan-pertimbangan etis/moral. 

Soalnya keputusan itu akan berdampak besar pada reputasi dan masa depan seseorang. Jika diputus plagiator dengan berpedoman pada indikasi aplikasi semata,  padahal sejatinya tidak demikian, maka itu afalah pembunuhan karakter yang akan menghancurkan nama baik, reputasi, dan masa depan seseorang.

Penilaian akademis dan pertimbangan etis/moral tadu hanya bisa dilakukan oleh manusia yang berjiwa, bukan oleh mesin aplikasi pengecek plagiarisme yang tak berjiwa. Jika keputusan itu sepenuhnya diserahkan pada aplikasi, dengan pertimbangan aplikasi itu obyektif dan netral, maka hal itu masuk kategori tirani.

Admin Kompasiana semestinya bukan institusi tirani media sosial, bukan?

***

Uda Merza saya pikir adalah satu dari beberapa orang kompasianer terverifikasi biru yang akunnya diblokir Admin karena lima artikel artikelnya diindikasi aplikasi sebagai plagiat. 

Jika keputusan blokir akun, dan sebelumnya degradasi statis, itu semata terjadi secara otomatis mengkuti logika kerja mesin, tanpa campur tangan Admin sebagai manusia, maka besar kemungkinan vonis plagiat dan plagiator itu adalah srbuah kesalahan yang bersifat tirani.

Saya usul agar Admin membentuk Tim Khusus Evaluasi Plagiarisme untuk menangani kasus seperti itu. Kasus Uda Merza saya kira baik menjadi kasus pertama yang mendesak dievaluadi atau tinjau ulang.  

Admin tidak bisa bersikap abai untuk kasus seperti ini. Sebab jika ternyata vonis plagiator itu keliru, seperti dugaan saya di atas, maka Admin telah bertindak keji merusak reputasi dan nama baik  seorang Merza Gamal di ruang publik. Itu namanya tirani.

Sekaligus saya usul beberapa hal berikut kepada Admin Kompasiana:

  • Admin adalah organisasi bisnis tapi Kompasiana adalah komunitas sosial yang mengandaikan kesaling-kenalan. Sekurangnya Admin sebagai primus interpares perlu kenal dengan kompasianer senior seperti Merza Gamal, dalam arti tahu  reoutasi dan integritasnya.
  • Admin membentuk Tim Khusus Antiplagiarisme  untuk memverifikasi hasil kerja mesin aplikasi pengecek plagiarisme Kompasiana. Tim ini harus memberi penilaian akademis dan pertimbangan moral/etis yang ketat dalam memutuskan vonus plagiat/plagiator pada kejadian ketiga (degradasi status) dan kelima (blokir akun).
  • Artikel terindikasi plagiat sebaiknya secara otomatis  dikembalikan kepada penulis untuk keperluan pembelajaran. Sebab sebagai komunitas, Kompasiana mestinya tak bersikap menghukum anggotanya tapi memperbaikinya. Banyak kompasianer yang tak sadar dirinya telah melakukan plagiasi.

Hari ini Uda Merza, besok mungkin Felix Tani, lusa mungkin kamu yang divonis aplikasi Kompasiana sebagai plagiator. Jika hal seperti itu dibiarkan, dan Admin lebih memilih jadi mesin yang dingin tanpa jiwa, maka plagiarisme akan menjadi momok bagi kompasianer, dan Kompasiana akan menjadi ladang pembunuhan karakter.

Mari kita, Admin dan kompasianer, sebagai sebuah komunitas sosial besar bekerjasama untuk mencegah agar hal buruk itu tidak sampai terjadi. (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun