Era kartu yang individual sudah lewat. Kini era keemasan chat yang massal. Itulah revolusi ucapan selamat.
Coba buka telepon genggammu. Â Periksalah, saat Idul Fitri 2-3 Mei 2022 yang baru lalu, kamu kirim ucapan selamat kepada berapa individu dan grup via Whatsapp (WA)?
Periksa pula ini: kamu terima ucapan selamat yang  dari berapa individu dan grup via WA?
Misalkan kamu mengirim ucapan selamat kepada 25 individu dan 10 grup. Coba periksa, apakah kamu mengirim 35 teks ucapan yang berbeda?
Atau, mungkin pakai dua template ucapan yang berbeda? Satu untuk individu, satunya lagi untuk grup?
Begitu pula dengan ucapan selamat yang kamu terima. Semisal terima dari 25 individu  juga. Apakah 25 teks ucapan itu berbeda satu sama lain. Atau mungkin sejumlah ucapan ternyata sama?Â
Demikian juga di grup perpesanan. Di dalam 10 grup, adakah sejumlah ucapan selamat yang sama?
Saya menduga, atau berhipotesis, hasil pemeriksaan itu kurang-lebih begini.
Pertama, kamu mengirim teks ucapan selamat yang sama, chat verbal ataupun piktorial, kepada semua individu ataupun grup perpesanan.
Kedua, kamu menerima sejumlah teks ucapan selamat yang sama dari sejumlah individu berbeda atau di grup yang berbeda.Â
Kenapa bisa begitu?Â
Itulah implikasi revolusi moda ucapan selamat dari kartu fisikal yang individual ke chat digital yang massal.Â
Itu gejala yang berlaku dalam ragam momen selamatan. Tidak saja pada momen Idul Fitri atau Lebaran. Â Tapi juga pada momen Natal, Tahun Baru, dan Imlek. Bahkan pada momen promosi jabatan, wisuda, pernikahan, kelahiran, ulang tahun, dan kematian.
Dan kita, sadar atau tidak, telah ikut terbawa dalam pergeseran itu.
Mohon izin untuk menjelaskan, seturut pemahaman saya, ya.
Era Kartu Fisikal yang Individual
Sampai penghujung 1990-an, kartu fisikal masih menjadi moda utama penyampaian ucapan selamat.
Saya akan bagikan pengalaman di Jakarta untuk memberi gambaran.
Waktu itu, sehari-hari, kartu ucapan untuk aneka momen lazim dijual di toko buku besar. Semisal di jaringan toko buku Gramedia dan Gunung Agung.
Tapi, tiap menjelang Natal dan Idul Fitri, kartu ucapan dijual juga di berbagai pasar swalayan atau supermarket. Antara lain di jaringan pasar swalayan Metro, Hero, dan Matahari.
Tiap tahun selama dekade 1990-an itu di Jakarta, setiap menjelang Natal dan Idul Fitri, Â saya dan istri selalu disibukkan dengan kegiatan pengiriman kartu ucapan kepada kerabat dan sahabat.
Itu kegiatan yang menyita waktu, tenaga, dan pikiran. Tapi, terus terang, sangat menyenangkan dan memuaskan hati.
Kenapa bisa begitu?
Karena kegiatan pengiriman kartu ucapan waktu itu bersifat individual.
Kegiatan harus diawali dengan penentuan orang-orang yang akan dikirimi kartu. Lazimnya diseleksi ketat. Hanya anggota kerabat dan sahabat yang dekat secara sosial dan emosional.
Waktu itu kami, istri dan saya, mengirim rata-rata 25 lembar kartu Natal dan 15 lembar kartu Idul Fitri per tahun.Â
Selanjutnya, pembelian kartu di toko buku atau supermarket. Gambar dan teks ucapan, termasuk bahasanya, harus dipilih berdasar gender, usia, dan status sosial individu yang akan dikirimi kartu.Â
Untuk orangtua misalnya dipilih kartu ucapan dengan gambar dan ucapan konvensional, langsung menunjuk pada nilai atau hakikat momen perayaan. Kalau Idul Fitri, misalnya, "Selamat Hari Raya Idul Fitri. Mohon lahir dan batin." Semacam itulah.
Kalau untuk sahabat muda yang masih jomlo, pilihan gambar dan ucapan bisa lebih ngepop. Bisa pilih kartu dengan gambar karikatural dan ucapan kocak.Â
Masih ada pertimbangan akhir: gengsi dan harga. Untuk orangtua atau yang dituakan, kami pilihkan kartu impor bikinan Hallmark atau American Greetings -- ini untuk kasus kartu Natal -- yang gengsi dan harganya tinggi. Untuk yang lainnya dipilh kartu produksi lokal semisal Harvest, Edwin's Gallery, dan Indoarts yang lebih murah.
Selanjutnya, penulisan ucapan tambahan dan tandatangan. Ucapan tambahan kadang diperlukan kalau dirasa teks ucapan pada kartu kurang memadai.Â
Untuk tanda tangan, ada pembedaan. Untuk semua kerabat, juga sahabat Poltak, tandatangan atas nama Poltak dan Berta. Untuk sahabat Berta, tanda tangan atas nama Berta dan Poltak. Â
Terakhir, penempelan prangko pada amplop dan, kemudian, pengriman lewat kantor pos. Lazimnya tiga atau empat hari sebelum hari Natal atau Idul Fitri. Agar bisa tiba di alamat sehari sebelum hari H, atau paling telat sehari setelahnya.
Begitulah kami mengalami penyampaian ucapan selamat di era kartu. Kartu ucapan waktu itu sesuatu yang bersifat individual, personal. Setiap orang diperlakukan khusus, sesuai gender, usia, dan status sosialnya.Â
Perlakuan khusus untuk tiap individu itu tercermin dari perbedaan kartu untuk setiap orang. Entah beda brand, gambar, teks ucapan, tambahan ucapan, dan tanda tangan. Â Itu hal-hal yang esensial.Â
Sifat individual dan personal pada kartu itu mencerminkan ketulusan, sekaligus penghargaan, dalam penyampaian ucapan selamat kepada seseorang. Sebab bukankan setiap orang akan bahagia jika diperlakukan istimewa?Â
Atau kamu kebalikan dari itu? Oh, kamu mungkin produk zaman yang lebih menyukai ucapan-ucapan digital yang instan.Â
Boleh saya lanjutkan ceritanya?
Revolusi Chat Digital
Begini. Sejak awal 2000-an, fitur SMS marak meluas di perangkat telepon genggam. Bersamaan dengan itu, penggunaan SMS untuk ucapan selamat mulai meluas pula. Baik untuk momen perayaan yang sifatnya publik, maupun yang individual.Â
Termasuk SMS ucapan selamat pada momen Natal dan Idul Fitri, tentu saja.
Kami, istri dan saya, termasuk orang yang terbawa ke dalam kemarakan moda SMS itu.
Ada semacam sensasi, berupa kepraktisan, dalam arti mudah dan cepat. Betul-betul sangat praktis, untuk tak bilang "instan".
Bayangkan. Menit pertama SMS ucapan dikirimkan. Pada menit ketiga balasannya sudah muncul di layar telepon genggam.
"Ritual" pengiriman ucapan selamat praktis mengalami perubahan revolusioner. Dari kartu menjadi chat, perbincangan pendek. Dari proses panjang pengiriman kartu ke proses kilat perbincangan ala SMS.
Kalau di era kartu pengiriman ucapan dilakukan secara kerjasama, pada era SMS atau chat ada pembagian kerja. Â Poltak mengirim SMS ucapan selamat kepada kerabat dan sahabat dari pihaknya. Berta mengirim SMS kepada kerabat dan sahabat dari pihaknya.
Pengiriman ucapan bisa dilakukan tepat di hari H, dari sembarang tempat dan waktu. Bisa sambil tiduran di ranjang, atau sambil nongkrong di kamar mandi.
Orang yang dikirimi ucapan juga bertambah. Tak hanya kerabat dan sahabat yang dekat secara sosial dan emosional. Melainkan sebanyak nama yang relevan pada daftar kontak di telepon genggam. Â
Tapi jumlah yang banyak itulah sumber masalah. Jika harus mengirim SMS ucapan kepada 50 orang di hari yang sama, maka perlakuan individual akan menyita energi dan pikiran.Â
Sulit membayangkan, misalnya, Â produksi 50 teks SMS yang berbeda satu sama lain dalam waktu 60 menit.Â
Karena itu kami, istri dan saya, mengakalinya dengan membuat satu template ucapan yang tak menyebut nama penerima. Hanya ucapan selamat (Natal/Idul Fitri), disambung permohonan maaf lahir batin, dan diakhiri dengan doa mohon berkat. Â
Ucapan selamat yang sama itu lalu dikirim kepada semua nomor kontak. Â Itulah ucapan dengan moda chat digital yang bersifat massal.Â
Tidak ada lagi kekhususan atau perlakuan istimewa untuk individu. Ucapan menjadi seragam dan massal.
Ketika aplikasi WA marak sejak awal 2010-an, moda chat semakin meraja dalam komunikasi ucapan selamat. SMS secara perlahan ditinggalkan untuk kemudian masuk ke dalam hegemoni WA.Â
Dibanding SMS yang terbatas pada chat kata-kata, WA lebih digandrungi. Alasannya, selain WA memfasilitasi chat verbal, bisa juga piktorial, baik berupa kartu digital maupun animasi dan video pendek.
Sifat massal pengucapan selamat semakin menjadi. Sebab selain memfasilitasi chat antar individu, WA juga melayani komunikasi grup atau WA Group (WAG). Membagi satu pesan ucapan selamat Natal atau Idul Fitri yang sama untuk semua kontak yang relevan di daftar WA menjadi lazim.
Begitu pula berbagi satu ucapan yang sama di dalam sejumlah WAG yang diikuti. Itu diterima sebagai kelaziman.
Saya sendiri melakukannya. Satu template ucapan selamat Natal atau Idul Fitri untuk semua kontak yang relevan. Â Tanpa membedakan kedekatan perkerabatan dan persahabatan, baik sosial maupun emosional. Sejauh satu nama ada di daftar kontak, ya, dikirimi saja ucapan selamat.
Kerap juga menemouh cara instan. Salin tempel ucapan teman yang dinilai bagus. Entah itu verbal atau piktorial -- kartu digital, anime, atau video pendek. Fitur WA memungkinkan itu, bahkan dengan sedikit modifikasi. Walau saya menjadi plagiat ucapan selamat.
Cara semacam itu bisa bikin kita mengelus dada. Sebab bisa saja ucapan kita disalin-tempel teman, dikirim ke temannya. Temannya mengirim lagi ke temannya. Begitu terus sampai kemudian ucapan itu dikirim teman lagi kembali lagi kepada kita.
Jangan ketawa, ya. Menurut teori six degree of separation dari Stanley Milgram, hal itu bisa saja terjadi. Kata Milgram, seseorang bisa terhubung kepada orang keenam setelah melalui lima orang.Â
Dan memang benar terjadi. Beberapa kali saya temukan di WAG yang berbeda ada ucapan selamat yang sama  dari orang yang berbeda. Bahkan di satu WAG yang saya ikuti, pernah masuk  tiga ucapan yang sama dari tiga orang yang berbeda.
Begitulah. Revolusi ucapan selamat, khususnya dalam momen hari besar keagamaan telah menanamkan budaya instan dalam kehidupan kita. Budaya yang mengedepankan kepraktisan, kemudahan, dan kecepatan. Tanpa kedalaman.Â
Wasana Kata: Tentang Kemanusiaan Kita
Revolusi ucapan selamat, sebagai bagian dari revolusi komunikasi, telah mengangkat kemanusiaan kita. Dalam arti ia memudahkan dan memurahkan komunikasi. Sebab kartu ucapan lebih mahal dan merepotkan ketimbang chat.
Tapi sekaligus juga menggerus kemanusiaan kita. Dalam arti memudarkan sentuhan individual atau personal pada ucapan yang ditulis pada kartu.  Digantikan oleh  ucapan berupa chat yang bersifat massal, sama untuk semua orang.
Esensi ucapan selamat itu adalah ketulusan dan pengistimewaan kepada individu, lewat cara yang personal.Â
Esensi itulah yang hilang seiring revolusi ucapan dari kartu ke chat digital. Jika ada yang menonjol pada teks, gambar, animasi, atau video ucapan digital, maka itu mungkin adalah sensasi.
Saya tak hendak menawarkan solusi di sini. Hanya sebuah pertanyaan untuk direnungkan. Apa sejatinya yang kita cari dalam hidup ini: individualitas atau kemassalan, Â esensi atau sensasi? (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H