Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Indonesia Sehat Pilihan

Dokter Terawan adalah Kritik terhadap Ikatan Dokter Indonesia

29 Maret 2022   16:40 Diperbarui: 29 Maret 2022   23:21 5949
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokter Terawan Agus Putranto (Foto: tribunnews.com/irwan rismawan)

"Pemecatan permanen  Prof. Dr. dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad (K)  dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) adalah kabar baik untuk pembangunan kesehatan nasional."

Merujuk keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), maka  Muktamar ke-31 IDI di Banda Aceh (21-25 Maret 2022) mengamanatkan kepada  pengurus  IDI periode 2022-2025 untuk memecat secara permanen Dokter Terawan dari keanggotannya di IDI. 

Keputusan pemecatan itu diambil karena, berdasar hasil rapat MKEK, Dokter Terawan dinilai telah melakukan pelanggaran kode etik kedokteran. 

Dua di antaranya tergolong pelanggaran berat. Pertama, mempraktekkan terapi "cuci otak" -- kombinan Digital Substraction Angiography dan injeksi heparin (DSA-heparin) -- untuk pasien stroke, padahal keandalan dan kemanannya belum teruji secara ilmiah.

Kedua,  mempromosikan dan memberikan layanan vaksin nusantara -- vaksin  Covid-19 berbasis sel dendritik -- padahal vaksin itu masih dalam tahap penelitian. 

Dua inovasi yang dinilai melanggar kode etik kedokteran itu, DSA-heparin dan vaksin dendritik --  secara tegas telah memposisikan Dokter Terawan sebagai kritik paradigmatik terhadap   IDI. 

Dalam kasus tersebur, Dokter Terawan telah tampil sebagai representasi   anarkisme metode ala Paul Feyerabend dalam dunia kedokteran. Sementara IDI teguh sebagai representasi positivisme empiris ala Francis Bacon.

Dua paradigma atau mashab itu, positivisme empiris dan anarkisme metoda,  sepintas tampak bertentangan. Sehingga, jika dilihat dari segi itu saja, orang akan menganggap logis langkah IDI memecat Dokter Terawan.

Padahal dua mashab itu sejatinya tak bertentangan.  Anarkisme metoda adalah kritik kepada kemapanan seperti  positivisme empirik. Saya akan coba jelaskan di bawah ini.  

***

Sebagai satu-satunya organisasi kedokteran di Indonesia, target besar IDI adalah peningkatan derajat kesehatan rakyat Indonesia (Pasal 7 ayat 2 AD IDI). 

Untuk mencapai target itu, IDI secara ketat menegakkan mashab positivisme empiris yang serba terukur dalam praktek kedokteran.  

Artinya setiap metode, alat, dan bahan (obat-obatan) kedokteran/medis hanya boleh digunakan jika sudah terbukti kemanjuran dan keamanannya secara ilmiah. 

Frasa "secara ilmiah" di situ menunjuk pada prosedur riset positivisme empirik dalam proses penemuan metode, alat, dan bahan kedokteran tersebut. 

Dalam prakteknya, prosedur riset itu dikenal sebagai uji klinis. Hanya setelah uji klinis dijalankan sesuai prosedur, dan hasilnya disetujui oleh suatu otoritas kesehatan/medis, barulah suatu metode, alat, dan bahan kedokteran  dapat dijalankan/diterapkan.

Hasil akhirnya adalah prosedur baku penanganan pasien. Mulai dari tahap penegakan diagnosa sampai tindakan pengobatan. Pembakuan itu mencakup langkah-langkah penanganan, jenis-jenis perlakukan, peralatan, dan obat-obatan.

Untuk penanganan pasien stroke misalnya, diagnosa dan pengobatannya mengikuti suatu prosedur baku. Prosedur itu  diakui, diterima dan dipraktekkan aecara  luas oleh pemangku medis termasuk dokter.

Seorang dokter tak boleh menyimpang dari prosedur baku.  Taruhannya, nyawa pasien. Jika itu terjadi maka dokter berisiko dituduh malpraktek.

Sikap ketat IDI terhadap metode, alat, dan bahan kedokteran adalah wujud penegakan kaidah-kaidah ilmiah yang positivistik. Sikap itu tak bisa ditawar karena di tangan seorang dokter ada nyawa pasien. 

Jadi, beginilah posisi IDI. Setiap dokter wajib mempertanggung-jawabkan secara ilmiah (positivisme empiris) kebenaran dari tiap metode, alat, dan bahan diagnosa dan pengobatan yang ditempuhnya. Kebakuan cara ditempatkan di depan kepentingan pasien.

***

Dokter Terawan  menjalani pendidikan kedokteran yang bermashab positivisme empirik.  Tapi dia agaknya bukan tergolong dokter yang betah terikat pada mashab yang pro-pembakuan itu.  

Bagi Dokter Terawan mashab positivisme empirik  adalah penjara kreativitas. Karena mashab itu menutup diri pada kemungkinan-kemungkinan metode, alat, dan bahan kedokteran selain yang sudah berlaku baku.

Tanpa sadar, Dokter Terawan telah menjadi penganut mashab anarkisme metode ala Paul Feyerabend. 

Mengritik kekakuan dan kebekuan positivisme empiris, Feyerabend bilang, "Metode apa saja boleh" (untuk menemukan kebenaran). Asalkan logis dan etis.  

Feyerabend menyebut itu "metode tanpa metode", suatu metode yang keluar dari kaidah-kaidah positivisme empiris yang kaku.

Dua inovasi Dokter Terawan yang dinilai MKEK/IDI sebagai pelanggaran etika, yaitu terapi cuci otak (DSA-heparin) vaksin nusantara berbasis sel dendritik, boleh dibilang produk anarkisme metode. Dokter Terawan menemukannya melalui prosedur riset non-postivisme empiris.

Inovasi terapi DSA-heparin dan vaksin dendritik Dokter Terawan kemudian  ditentang IDI karena tidak dihasilkan melalui prosedur riset positivisme empiris.  

Kalangan IDI menilai, terapi DSA-heparin itu bukan pengobatan stroke, tapi hanya semacam penyegaran dengan efek plasebo (sugesti). Lalu vaksin dendritik bukan vaksin dan prosedur uji klinisnya tidak bisa dipertanggung-jawabkan.

Intinya, karena tidak didasarkan pada prosedur riset positivisme empiris, maka inovasi DSA-heparin dan vaksin nusantara tidak diakui oleh IDI (dan BPOM).  Karena itu DSA-heparin dan vaksin nusantara tidak boleh dipromosikan dan diterapkan kepada manusia.

Tapi, sebagai seorang yang menganut prinsip "metode apa saja boleh", sejauh itu logis (manjur dan aman) dan etis (manusiawi, menolong sesama), Dokter Terawan telah menjalankan terapi DSA-heparin dan pemberian vaksin nusantara (dendritik). Tindakan itu dinilai MKEK/IDI pelanggaran etika kedokteran.

Pasien DSA-heparin dan penerima vaksin nusantara itu banyak dari kalangan elite. Ada pejabat, pengusaha, politisi, dan selebriti. 

Para elite sosial itu kemudian menyampaikan testimoni ke ruang publik.  Mereka mengakui bahwa terapi DSA-heparin sukses menghilangkan penyakit mereka. Lalu vaksin nusantara sukses meningkatkan imunitasnta terhadap Covid-19.  

Tapi testimoni adalah opini. Itu bukan bukti medis yang bersifat empirik atas kesembuhan dari suatu penyakit, atau penguatan tubuh. 

Karena itu  sudah bisa dipastikan IDI tidak bisa menerima testimoni para elite sosial sebagai bukti empiris tentang keandalan dan keamanan terapi DSA-heparin dan vaksin nusantara.

Sementara Dokter Terawan bergeming pada posisi ini: metode apa saja, sejauh logis dan etis, boleh ditempuh demi kesembuhan dan keselamatan pasien. Kepentingan pasien ditempatkan di depan kebakuan cara.

***

Selama ini antara IDI dan Dokter Terawan seakan tidak ada titik-temu.  IDI teguh pada pendekatan positivisme empiris. Sementara Dokter Terawan kreatif dengan pendekatan anarkisme metode.  

Sejatinya anarkisme metode yang ditempuh Dokter Terawan adalah kritik terhadap positivisme empiris yang dipegang teguh IDI. Dokter Terawan menolak kepatuhan buta pada positivisme empiris. 

Alasannya, sikap seperti itu akan membutakan dokter pada kemungkinan selain yang ditawarkan industri kedokteran/farmasi yang bersifat positivistik.  

Kepatuhan buta pada positivisme empiris   berisiko mengerdilkan dunia kedokteran nasional. Sekaligus mengukuhkan ketergantungan pada industri kedokteran/farmasi negara-negara maju.  

Dampak lanjutnya, biaya kesehatan di Indonesia menjadi mahal. Karena alat dan bahan harus impor. Lalu metode/alat/bahan kedokteran Indonesia juga akan selalu ketinggalan.

Pada titik ini, pemecatan Dokter Terawan dari IDI dapat bermakna  kabar baik untuk pembangunan kesehatan nasional. Asalkan IDI dan Dokter Terawan bisa berkomunikasi untuk mencapai kesepahaman yang menguntungkan bangsa ini.

Intinya begini.  Jika IDI bersikukuh pada pendekatan positivisme empiris dan Dokter Terawan bersikukuh pada pendekatan anarkisme metode, maka tidak akan ada komunikasi. Dokter Terawan akan hilang dari dunia kedokteran nasional. Bangsa ini akan merugi.

Untuk mencegah hal itu, maka IDI sebaiknya menerima Dokter Terawan sebagai kritik internal terhadap IDI. Inovasi Dokter Terawan tidak bisa serta-merta dinyatakan salah atau melanggar etika, hanya karena bukan hasil riset positivisme empiris. Riset berbasis anarkisme metode juga menghasilkan kebenaran ilmiah.  

Sebaliknya Dokter Terawan mesti menerima IDI sebagai "rumah pembangunan kesehatan" yang harus dikembangkan bersama. Dia harus bisa membuktikan jalan anarkisme  metode yang ditempuhnya bukan jalan sesat.  

Dokter Terawan perlu lebih rendah hati dan terbuka membuktikan kebenaran ilmiah terapi DSA-heparin dan vaksin nusantara. Dengan begitu, anarkisme metode sebagai sebuah kritik akan meluaskan jalan bagi kemajuan kedokteran berbasis riset ilmiah.

Melalui komunikasi ilmiah yang setara maka IDI, sesuai fungsinya, dapat memfasilitasi Dokter Terawan untuk menyempurnakan inovasi DSA-heparin dan vaksin nusantara. Agar inovasi itu memenuhi kaidah-kaidah metode, alat, dan bahan kedokteran yang dapat diterima kebenarannya secara ilmiah.

Komunikasi sejawat antara IDI dan Dokter Terawan seperti itu akan berdampak positif pada kemajuan duania kedokteran/medis nasional.  Dokter-dokter kreatif lain seperti Terawan, yang mestinya banyak di Indonesia, pasti akan terpacu untuk lebih kreatif berinovasi.  Dokter-dokter Indonesia yang berdiaspora juga mungkin akan terpanggil berkarya di Indonesia.

Jika sudah begitu, siapa yang akan diuntungkan?  Bukan IDI atau Dokter Terawan, tapi bangsa Indonesia. Sebab kemajuan dunia kedokteran nasional akan mengangkat derajat kesehatan bangsa Indonesia. (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Indonesia Sehat Selengkapnya
Lihat Indonesia Sehat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun