Para elite sosial itu kemudian menyampaikan testimoni ke ruang publik. Â Mereka mengakui bahwa terapi DSA-heparin sukses menghilangkan penyakit mereka. Lalu vaksin nusantara sukses meningkatkan imunitasnta terhadap Covid-19. Â
Tapi testimoni adalah opini. Itu bukan bukti medis yang bersifat empirik atas kesembuhan dari suatu penyakit, atau penguatan tubuh.Â
Karena itu  sudah bisa dipastikan IDI tidak bisa menerima testimoni para elite sosial sebagai bukti empiris tentang keandalan dan keamanan terapi DSA-heparin dan vaksin nusantara.
Sementara Dokter Terawan bergeming pada posisi ini: metode apa saja, sejauh logis dan etis, boleh ditempuh demi kesembuhan dan keselamatan pasien. Kepentingan pasien ditempatkan di depan kebakuan cara.
***
Selama ini antara IDI dan Dokter Terawan seakan tidak ada titik-temu. Â IDI teguh pada pendekatan positivisme empiris. Sementara Dokter Terawan kreatif dengan pendekatan anarkisme metode. Â
Sejatinya anarkisme metode yang ditempuh Dokter Terawan adalah kritik terhadap positivisme empiris yang dipegang teguh IDI. Dokter Terawan menolak kepatuhan buta pada positivisme empiris.Â
Alasannya, sikap seperti itu akan membutakan dokter pada kemungkinan selain yang ditawarkan industri kedokteran/farmasi yang bersifat positivistik. Â
Kepatuhan buta pada positivisme empiris  berisiko mengerdilkan dunia kedokteran nasional. Sekaligus mengukuhkan ketergantungan pada industri kedokteran/farmasi negara-negara maju. Â
Dampak lanjutnya, biaya kesehatan di Indonesia menjadi mahal. Karena alat dan bahan harus impor. Lalu metode/alat/bahan kedokteran Indonesia juga akan selalu ketinggalan.
Pada titik ini, pemecatan Dokter Terawan dari IDI dapat bermakna  kabar baik untuk pembangunan kesehatan nasional. Asalkan IDI dan Dokter Terawan bisa berkomunikasi untuk mencapai kesepahaman yang menguntungkan bangsa ini.