Sebagai satu-satunya organisasi kedokteran di Indonesia, target besar IDI adalah peningkatan derajat kesehatan rakyat Indonesia (Pasal 7 ayat 2 AD IDI).Â
Untuk mencapai target itu, IDI secara ketat menegakkan mashab positivisme empiris yang serba terukur dalam praktek kedokteran. Â
Artinya setiap metode, alat, dan bahan (obat-obatan) kedokteran/medis hanya boleh digunakan jika sudah terbukti kemanjuran dan keamanannya secara ilmiah.Â
Frasa "secara ilmiah" di situ menunjuk pada prosedur riset positivisme empirik dalam proses penemuan metode, alat, dan bahan kedokteran tersebut.Â
Dalam prakteknya, prosedur riset itu dikenal sebagai uji klinis. Hanya setelah uji klinis dijalankan sesuai prosedur, dan hasilnya disetujui oleh suatu otoritas kesehatan/medis, barulah suatu metode, alat, dan bahan kedokteran  dapat dijalankan/diterapkan.
Hasil akhirnya adalah prosedur baku penanganan pasien. Mulai dari tahap penegakan diagnosa sampai tindakan pengobatan. Pembakuan itu mencakup langkah-langkah penanganan, jenis-jenis perlakukan, peralatan, dan obat-obatan.
Untuk penanganan pasien stroke misalnya, diagnosa dan pengobatannya mengikuti suatu prosedur baku. Prosedur itu  diakui, diterima dan dipraktekkan aecara  luas oleh pemangku medis termasuk dokter.
Seorang dokter tak boleh menyimpang dari prosedur baku. Â Taruhannya, nyawa pasien. Jika itu terjadi maka dokter berisiko dituduh malpraktek.
Sikap ketat IDI terhadap metode, alat, dan bahan kedokteran adalah wujud penegakan kaidah-kaidah ilmiah yang positivistik. Sikap itu tak bisa ditawar karena di tangan seorang dokter ada nyawa pasien.Â
Jadi, beginilah posisi IDI. Setiap dokter wajib mempertanggung-jawabkan secara ilmiah (positivisme empiris) kebenaran dari tiap metode, alat, dan bahan diagnosa dan pengobatan yang ditempuhnya. Kebakuan cara ditempatkan di depan kepentingan pasien.
***