Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sosiologi Kuburan, Belajar Kehidupan dari Orang Mati

1 Maret 2022   07:00 Diperbarui: 1 Maret 2022   21:37 4203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu sudut pemakaman sektor Kristen di TPU Kampung Kandang, Jakarta Selatan (Dokumen Pribadi)

Apakah pikiran, perkataan, dan perbuatanku selama hidup sungguh mencerminkan laku kebenaran dan kebaikan pada diri sendiri dan sesama? Dengan kata lain, mencerminkan kasih?

Frasa "pertandingan yang baik" itu adalah suatu etika kehidupan, atau sederhananya semacam "etos kerja".  Sekeras apapun seseorang menjalani hidupnya, hal itu tak boleh merugikan atau melukai orang lain, sesama manusia. 

Jika hidupku adalah petaka bagi sesama, maka aku telah gagal "memelihara iman" dan telah gagal "mencapai garis akhir".  Itulah kematian untuk sebuah kehidupan yang tidak saja sia-sia, tapi juga membawa kerusakan.

Dalam kehidupan nyata, frasa "pertandingan yang baik" itu boleh saja dimaknai sebagai "etika protestan" ala Max Weber. Hanya orang yang mau dan mampu menggandakan talentanya, dan membagikan manfaat talenta itu kepada sesama, yang bisa dikatakan telah "mencapai garis akhir".  Upahnya adalah "kehidupan abadi".

Saya lalu merenung, bertanya kepada diri sendiri. Apakah hidup yang kujalani kini sebuah "pertandingan yang baik"? Atau sebaliknya, sebuah "pertandingan yang buruk" penuh kecurangan untuk menyingkirkan dan menghancurkan orang lain? Atau, tanpa sadar, bahkan menghancurkan diriku sendiri?

Sebuah Permenungan

Begitulah, di kuburan, di zona orang-orang mati itu, ada pelajaran hidup yang bisa dipetik. Saya tak hendak menyimpulkan bahwa para mendiang semasa hidupnya telah menerapkan ayat-ayat kehidupan itu secara sempurna. 

Tidak, tidak demikian. Tapi saya boleh katakan, para mendiang itu semasa hidupnya telah berjuang untuk berpikir, berujar, dan berbuat sesuai tuntunan ayat Kitab Suci yang menjadi pegangannya.  Apakah berhasil atau tidak, biarlah Tuhan yang menjadi hakimnya.

Satu hal yang jelas bagiku, orang-orang mati di pemakaman itu dalam kebisuannya, telah mengajarkan kehidupan kepada orang-orang hidup yang ditinggalkannya, lewat teks ayat suci yang dipahatkan pada nisan-nisan. 

Mungkin ada pertanyaan, cukupkah satu ayat Kitab Suci sebagai pedoman hidup? Biarkan para ahli agama menjawabnya. Tapi bagiku, lebih baik seseorang yang hanya tahu satu ayat tapi berjuang sepanjang hidup menjalankannya. Ketimbang seseorang yang hafal seluruh ayat Kitab Suci, tapi sepanjang hidupnya tak menjalankan satupun.  

Orang mati membisu di  kuburan untuk mengajarkan kehidupan kepada orang hidup. Dan kamu, bila waktumu tiba, dan itu pasti akan tiba, pelajaran apa yang akan kamu bagikan kepada orang hidup? (eFTe) 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun