Saya hanya akan membagikan dua ayat yang kerap terbaca saja. Sebagai contoh saja untuk ditafsir guna mendapatkan nilai pembelajaran kehidupan.
Satu: "Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan." (Roma 14: 8).
Ayat ini mengingatkan bahwa manusia dalam hidup dan matinya adalah milik Tuhan. Betul, manusia dikaruniai Tuhan kehendak bebas. Sehingga jalan hidup adalah pilihan bebas. Tapi hendaknya pilihan bebas itu dilakukan dalam koridor hukum Tuhan.
Membaca ayat itu pada nisan, saya membayangkan mendiang adalah seseorang mengamalkan hidupnya di jalan Tuhan. Bagi umat Kristiani, itu berarti jalan kasih. Artinya, tiap pikiran, perkataan, dan perbuatan mendiang semasa hidupnya adalah wujud kasih pada sesama.
Lalu saya mengenakan tafsir itu pada diri sendiri. Apakah setiap pikiran, perkataan, dan perbuatanku dalam hidup ini sungguh demi kasih pada sesama? Atau sebenarnya hanya demi ambisi dan kepentingan-kepentingan sosial, ekonomi, dan politik pribadi atau kelompokku?
Saya terheran-heran, mengapa ada orang yang berteriak  "Demi Tuhan!" atau "Demi umat", tetapi yang kemudian keluar dari mulutnya adalah serapah, fitnah, hujat, kebencian, dan permusuhan? Atau yang kemudian dilakukan dengan tangan dan kakinya adalah kekerasan, perusakan, dan bahkan pembunuhan?
Apakah benar demikian yang disebut laku hidup orang yang beriman kepada Tuhan?
Dua: "Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir, dan aku telah memelihara iman." (2 Timotius 4: 7).
Ayat ini membawa saya pada bayangan seseorang yang telah menjalani hidupnya dalam terang iman kepada Tuhan. Dia telah "mencapai garis akhir" (wafat) setelah menuntaskan hidupnya sebagai sebuah "pertandingan yang baik".
"Pertandingan" yang dimaksud di situ menunjuk pada pertarungan antara benar dan salah serta antara baik dan buruk.Â
Hal itu berlangsung dalam dua arah sekaligus. Ke dalam, kepada diri sendiri dan keluar, kepada orang lain yang adalah sesama.Â