Konvoi kendaraan mewah di jalan raya itu adalah pemanggungan gaya hidup kelas atas perkotaan. Hal itu tidak saja benar untuk konvoi mobil sport mewah yang bikin macet Tol Desari (Depok-Antasari) baru-baru ini. Tetapi juga benar untuk konvoi motor gede (moge) yang kerap berlakon sebagai pemilik jalan raya, termasuk jalan tol.
Konvoi mobil sport/super mewah bukan hal baru di negeri ini. Tidak hanya dalam kota, tapi juga ke luar kota, misalnya trans-Jawa. Tapi tidak sampai bikin heboh, sampai kemudian ada kasus konvoi mobil mewah di Tol Desari yang viral.
Kasus konvoi di Tol Desari menjadi viral lantaran diwarnai pelanggaran aturan lalu lintas tapi tidak dikenai sanksi oleh polisi. Peserta konvoi itu bikin macet karena mereka berhenti di badan jalan tol untuk membuat dokumentasi.Â
Polisi tidak memberi sanksi dengan alasan mereka sudah mengaku salah dan minta maaf. Hal itu, secara salah kaprah, kemudian dinilai banyak orang sebagai pengistimewaan "kelas atas".Â
Dengan mengambil kasus konvoi di Tol Desari itu, saya akan jelaskan secara sosiologis bahwa pemanggungan gaya hidup elit ekonomi kota semacam itu lumrah terjadi. Tak hanya di perkotaan Indonesia, tapi juga di negara-negara lain.
Untuk memahami gejala itu, saya akan jelaskan dulu konsep-konsep kelas sosial (social class), gaya hidup (lifestyle), simbol status (status symbol), konsumsi menyolok (conspicuous consumption), dan pelesir menyolok (conspicous leisure).[1]
Gaya Hidup dan Simbol Status Kelas Atas
Suatu masyarakat, katakanlah masyarakat Jakarta, terbagi ke dalam kelas-kelas sosial. Kelas sosial di sini merujuk sekelompok warga yang memiliki status sosial-ekonomi setara dalam suatu masyarakat. Lazimnya dibedakan jadi tiga kelas: atas, tengah, dan bawah.
Secara khusus kelas atas kota, semisal di Jakarta, dicirikan oleh pemilikan harta yang melimpah. Hasil bisnis yang memberi pendapatan sangat besar.Â
Lazimnya harta dan bisnis itu warisan orangtua, atau fasilitasi dari orangtua yang memiliki jaringan bisnis kuat dan luas.Â
Kekayaan melimpah itu memungkinkan kelas atas, elite ekonomi kota itu, membangun gaya hidup (lifestyle) eksklusif. Gaya hidup di sini merujuk pada pola dan tata krama hidup khas sekelompok orang dalam rangka pemenuhan kebutuhan biologis, ekonomi, emosi, dan sosialnya.Â
Gaya hidup itu secara tipologis mencerminkan suatu "cara hidup" (way of life). Mencerminkan sikap, keyakinan, dan nilai-nilai kelompok itu.
Satu kekhasan gaya hidup khas kelas atas perkotaan itu adalah kegandrungan pada aktivitas biaya tinggi, sebagai pemanggungan status sosialnya. Contohnya belanja busana, tas, dompet, sabuk, sepatu, sandal, kosmetika, kacamata, perhiasan, jam tangan, dan gadged mewah (branded). Beli yacht mewah, serta kendaraan mewah semisal sepeda, motor besar, dan mobil sport/super merek eksklusif, kalau bisa edisi terbatas. Bikin atau menghadiri pesta-pesta mewah eksklusif. Serta pelesiran (leisure) naik kapal pesiar mewah atau jet pribadi dan konvoi motor dan mobil mewah di jalan raya.
Dalam pemanggungan status sosial itu, seperti disebut di atas, ada barang-barang yang digunakan sekaligus ditunjukkan. Itu disebut simbol status (status symbol), sesuatu yang dimiliki sebagai penanda kekayaan atau status sosial tinggi. Misalnya sepatu, jam tangan, tas, gadget, motor gede, dan mobil sport/super dari merek ternama sedunia.
Pengadaan simbol status itu lazim disebut kegiatan "konsumsi menyolok" (conspicuous consumption). Artinya pembelian, pemameran, dan penggunaan barang-barang (dan jasa-jasa) mewah mahal untuk menunjukkan kekayaan dan status sosial tinggi dalam masyarakat.Â
Barang (dan jasa) semacam itu -- merujuk nama penemunya Thorstein Veblen, ekonom Amerika -- dikategorikan "barang Veblen" (Veblen goods).Â
Kategori itu menunjuk pada produk yang dicari dan dibeli terutama karena harganya sangat mahal sehingga berfungsi sebagai simbol status.Â
Jika seseorang menenteng tas merek H, mengenakan arloji GD, menunggang mobil sport B, maka orang segera tahu dia adalah warga kelas atas.
Kata Veblen, konsumsi menonjol itu itu adalah moda pengejaran status (mode of status-seeking). Kebalikan dari hukum permintaan pasar, maka permintaan akan barang Veblen meningkat seiring peningkatan harganya. Warga kelas atas akan semakin menginginkan barang itu sebagai simbol status, dalam praktek konsumsi dan pelesir menonjol.Â
Semakin terbatas edisi barang, semakin tinggi harganya, dan semakin bersaing warga kelas atas untuk mendapatkannya.Â
Warga yang berhasil memilikinya akan diposisikan di puncak kelas atas. Itulah eksistensi, pengakuan pihak lain menurut piramida kebutuhan Maslow.
Konsumsi menyolok dan pelesir menyolok itu dua sisi pada satu mata uang. Warga kelas atas tidak akan membeli barang mewah untuk disimpan, tapi untuk dipakai dan sekaligus dipamerkan atau dipertunjukkan kepada sesama warga kelas atas dan masyarakat umumnya. Hal tersebut terakhir ini disebut "pelesir menyolok" (conspicuous leisure), kegiatan pelesir yang dilakukan agar disaksikan oleh masyarakat luas.Â
Konvoi moge dan mobil mewah di jalan raya ataupun jalan tol itu tergolong sebagai "pelesir menyolok". Itu adalah bagian dari gaya hidup warga kelas atas, sekaligus pemanggungan status sosial mereka di ruang publik.Â
Pemanggungan Gaya Hidup di Tol Desari
Bisa diduga, para peserta konvoi mobil mewah, termasuk mobil mewah modifikasi, yang viral karena bikin macet sehingga dihadang polisi di Tol Desari adalah warga kelas atas kota Jakarta dan sekitarnya.Â
Dilihat dari tampilan fisik, agaknya mereka adalah generasi baru "orang kaya". Â Walau bukan termasuk yang teratas di kelas atas, semisal orang-orang yang dijuluki "taipan", "sultan" atau "crazy rich".Â
Juga tak tertutup kemungkinan di antara mereka ada yang sekadar flexing. Mereka ini "orang kebanyakan" yang numpang ikut terlihat kaya atau seolah bagian dari kelas atas kota. Pamernya lewat media sosial (medsos).
Mereka sedang melakukan aktivitas "pelesir menonjol" di jalan tol. Tujuannya untuk memanggungkan status sosial mereka di ruang publik, dengan memamerkan mobil-mobil mewah miliknya.
"Penonton"-nya adalah pengendara mobil lain dan warga sepanjang jalan tol dan non-tol yang dilintasi. Warga yang menyaksikan akan menyadari dan mengakui keberadaan mereka sebagai warga "kelas atas".
Konvoi itu bikin macet karena mobil bergerak lambat untuk memungkinkan "mobil juru kamera" mengambil dokumentasi di posisi terdepan. Sudah bisa diduga, rekaman konvoi itu nanti akan dibagikan kepada peserta untuk diagihkan di akun medsos masing-masing. Juga mungkin di akun medsos komunitas, serta grup perpesanan.Â
Jadi, selain dipanggungkan langsung di ruang publik, status sosial dan simbol status "kelas atas" itu dipertunjukkan juga di ruang maya yang lebih luas.
Sebenarnya tak ada yang salah dengan konvoi mobil mewah, sepanjang tidak mengganggu kepentingan publik. Â
Konvoi mobil mewah di Tol Desari menjadi masalah karena laju mobil lambat dan mengokupasi dua jalur, sehingga mengambil hak pengendara lain untuk melaju lancar tanpa hambatan di jalan tol.Â
Pengendara lain juga sudah bayar tiket tol. Karena itu tak adil bagi mereka ketika peserta konvoi, yang "menguasai" jalur di jalan tol.
Prinsip serupa berlaku juga untuk kejadian-kejadian konvoi kendaraan mewah lain. Tak ada yang bisa "disalahkan", kecuali terjadi pelanggaran atau kecelakaan lalu-lintas. Semisal konvoi menerobos rambu "lampu merah", moge masuk tol (kecuali ada diskresi atau jalur khusus), dan peserta konvoi terlibat kecelakaan lalu lintas. Pelanggaran semacam itu harus diselesaikan menurut hukum atau peraturan yang berlaku umum.
Pada dasarnya tidak ada "keistimewaan" (privilege) bagi konvoi kendaraan mewah di ruas jalan umum, di luar "keistimewaan per kegiatan" yang mungkin diberikan kepolisian secara diskretif. Bagi konvoi mobil mewah di Tol Desari itu pun tak ada "keistimewaan".Â
Fakta polisi tidak menerbitkan bukti pelanggaran (tilang) untuk konvoi itu, bukanlah indikasi "keistimewaan".Â
Teguran atau peringatan dari polisi kepada peserta konvoi itu adalah bentuk sanksi, yang dikenakan polisi secara diskretif. Kurang lebih semacam teguran polisi, tanpa sanksi tilang, kepada pengendara yang berhenti di bahu jalan tol karena kebelet kencing.
Bisa dipikirkan sebuah pengandaian. Seandainya konvoi mobil "sejuta umat" (merek dan tipe serupa) yang melakukan "kesalahan" seperti konvoi mobil mewah di Tol Desari, apakah perlakuan hukum dari polisi akan sama? Saya yakin perlakuan polisi akan sama saja: teguran keras agar tidak menguasai jalur dan mengambil dokumentasi di jalan tol.
Polisi mungkin dihadapkan pada kesulitan untuk "menilang" satu konvoi, karena subjek pelanggar aturan lalu lintas adalah individu pengendara, bukan kolektivitas.
Jika kasus semacam konvoi mobil mewah di Tol Desari dianggap sebagai pelanggaran yang cukup serius, maka kemungkinannya adalah memanggil pimpinan konvoi ke kantor polisi untuk mempertanggung jawabkan pelanggaran itu.
Alternatif lain, polisi menilai kasus konvoi itu sebagai masalah etika berkendara di jalan raya. Antara satu dan lain pengendara harus saling menghargai, mengingat sama-sama menggunakan fasilitas publik dengan kualitas akses yang sama. Dalam hal satu pihak tak menghargai pihak lain, maka sudah selayaknya disampaikan teguran.
Pentingnya Etika Konvoi Kendaraan di Ruang Publik
Tanpa bermaksud memihak sesuatu kelas sosial, saya ingin katakan bahwa kasus-kasus konvoi kendaraan mewah di jalan raya adalah pemanggungan gaya hidup dan simbol status kelas atas di ruang publik.Â
Kasus-kasus itu secara keseluruhan menunjuk pada pemenuhan kebutuhan pengakuan eksistensi kelas atas, dalam bentuk konsumsi dan pelesir menyolok. Itu adalah konsekuensi dari status sosial yang disandang.
Kasus jalan macet karena unjuk rasa calon penerima bansos yang tak mendapat haknya, walau mungkin agak ekstrim, bisa menjadi pembanding dari sisi kebutuhan kelas bawah untuk diakui.Â
Calon penerima bansos itu ingin diakui sebagai warga kurang mampu, dengan implikasi mereka akan mendapatkan bansos yang menjadi hak warga kurang mampu.Â
Jadi, seperti kelas atas yang memanggungkan status sosialnya di jalan raya, bukankah calon penerima bansos itu juga memanggungkan status sosial kelas bawah yang melekat padanya?
Barangkali, sebagai manifestasi kecemburuan sosial kepada kelas atas, sebagian warga masyarakat akan mencela dan memaki konvoi kendaraan mewah di jalan raya. Lalu, bila kehadiran konvoi kelas atas itu dirasa mengganggu kepentingan pengguna jalan yang lain, tanpa sanksi dari polisi, maka dianggap sebagai "pengistimewaan orang kaya".
Pikiran dan ujaran negatif warga kebanyakan pada peserta konvoi kendaraan mewah, sejauh tak ada aturan formal yang dilanggar, dapat ditarik ke persoalan etika berkendara di jalan umum. Perlunya saling menghargai persamaan hak atas jalan raya.Â
Etika itulah yang harus ditegakkan oleh kelas atas dalam kegiatan konsumsi dan pelesir menyolok, semacam konvoi mobil mewah itu. Harus ada etika kegiatan konsumsi dan pelesir menyolok, dengan maksud mengeliminir dampak atau ekses negatifnya terhadap mayoritas warga kelas bawah.
Saya percaya warga kelas atas terlalu cerdas untuk tak bisa merumuskan etika konsumsi dan pelesir menyolok itu. Mereka adalah kelompok yang sangat sensitif pada kerusuhan sosial yang dipicu kecemburuan sosial. Karena itu mereka pasti mampu merumuskan dan menegakkan etika konsumsi dan pelesir menyolok. Termasuk etika konvoi kendaraan mewah di ruang publik. (eFTe)
Catatan Kaki:
[1] Pengertian konsep-konsep sosiologi ini bisa diperiksa dalam sociologydictionay.com, britannica.com, dan merriam-webster.com.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI