Indikasi niat baik itu sederhana saja. Â Frasa "artikel sampah" atau "dangkal" itu diikuti dengan penjelasan tentang "kesampahan" dan "kedangkalan", lalu diakhiri dengan saran konstruktif.
Dalam beberapa artikel terdahulu, saya beberapa kali menyebut kualitas "dangkal" pada sejumlah artikel di Kompasiana, termasuk yang naik ke kasta "Artikel Utama". Â Ukuran saya simpel: Â reproduktif, memproduksi ulang substansi artikel-artikel yang dengan mudah bisa ditemukan di berbagai medsos dan medmas daring. Â Bukan sebuah kebetulan jika kualitas dangkal itu tersematkan pada artikel-artikel "politrik dan politip".
Itu satu ukuran sederhana. Â Dua ukuran lain adalah sesat logika dan tidak etis. Â Tapi jenis artikel macam ini biasanya langsung dihapus Admin K dan dibuang ke "tong sampah". Â Sekali lagi, dibuang ke "tong sampah".
Sejumlah Kompasianer, terutama rekan milenial, mengecam saya atas frasa "artikel dangkal" yang bisa juga diartikan "sampah" itu. Alasannya, ya, itu tadi, menghina, tak menghargai sesama Kompasianer.
Prinsip saya begini. Â Kalau saya tak menghargai penulis, para Kompasianer itu, maka saya tak akan baca artikelnya. Â Atau saya baca tapi saya tak beri nilai dan komentar.
Ada soal serius di situ. Â Saya hanya akan berkomentar pedas pada artikel yang menurut saya kualitasnya bagus, bukan artikel "sampah" atau "dangkal". (Ini di luar artikel-artikel picisan, ya). Â Di Kompasiana, tak banyak Kompasianer yang terbuka hatinya menerima komentar keras dari saya. Â Dan saya sangat menghormati mereka.
Banyaklah Kompasianer yang lebih memperturutkan perasaannya.  Langsung baper kalau dikritik atau disentil artikelnya. Lalu menulis artikel playing victim untuk mendapatkan sympathy and support dari Kompasianer lain yang merasa senasib.  (Lha, kok jadi bahasa anak Jaksel, ya.)
Ya, sudahlah. Lanjut saja begitu. Â Rebahan sampai obes sana di zona nyamanmu!
***
Kompasianer Kenthir, maksud saya Engkong Felix, bukanlah orang yang steril dari produk artikel sampah dan dangkal. Â Selama 7 tahun di Kompasiana, banyak juga artikel semacam itu ditulisnya.
Kelemahan Engkong Felix adalah "tulis dan langsung tayang". Â Setelah tayang, barulah dibaca kembali, dan ketahuan kualitasnya sampah dan dangkal. Â Belum lagi wabah typosialant yang menyakiti kata-kata dalam artikel.