Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Artikel-artikel Sampah dari Kompasianer Kenthir

17 Januari 2022   16:30 Diperbarui: 17 Januari 2022   16:53 842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indikasi niat baik itu sederhana saja.  Frasa "artikel sampah" atau "dangkal" itu diikuti dengan penjelasan tentang "kesampahan" dan "kedangkalan", lalu diakhiri dengan saran konstruktif.

Dalam beberapa artikel terdahulu, saya beberapa kali menyebut kualitas "dangkal" pada sejumlah artikel di Kompasiana, termasuk yang naik ke kasta "Artikel Utama".  Ukuran saya simpel:  reproduktif, memproduksi ulang substansi artikel-artikel yang dengan mudah bisa ditemukan di berbagai medsos dan medmas daring.  Bukan sebuah kebetulan jika kualitas dangkal itu tersematkan pada artikel-artikel "politrik dan politip".

Itu satu ukuran sederhana.  Dua ukuran lain adalah sesat logika dan tidak etis.  Tapi jenis artikel macam ini biasanya langsung dihapus Admin K dan dibuang ke "tong sampah".  Sekali lagi, dibuang ke "tong sampah".

Sejumlah Kompasianer, terutama rekan milenial, mengecam saya atas frasa "artikel dangkal" yang bisa juga diartikan "sampah" itu. Alasannya, ya, itu tadi, menghina, tak menghargai sesama Kompasianer.

Prinsip saya begini.  Kalau saya tak menghargai penulis, para Kompasianer itu, maka saya tak akan baca artikelnya.  Atau saya baca tapi saya tak beri nilai dan komentar.

Ada soal serius di situ.  Saya hanya akan berkomentar pedas pada artikel yang menurut saya kualitasnya bagus, bukan artikel "sampah" atau "dangkal". (Ini di luar artikel-artikel picisan, ya).  Di Kompasiana, tak banyak Kompasianer yang terbuka hatinya menerima komentar keras dari saya.  Dan saya sangat menghormati mereka.

Banyaklah Kompasianer yang lebih memperturutkan perasaannya.  Langsung baper kalau dikritik atau disentil artikelnya. Lalu menulis artikel playing victim untuk mendapatkan sympathy and support  dari Kompasianer lain yang merasa senasib.  (Lha, kok jadi bahasa anak Jaksel, ya.)

Ya, sudahlah. Lanjut saja begitu.  Rebahan sampai obes sana di zona nyamanmu!

***

Kompasianer Kenthir, maksud saya Engkong Felix, bukanlah orang yang steril dari produk artikel sampah dan dangkal.  Selama 7 tahun di Kompasiana, banyak juga artikel semacam itu ditulisnya.

Kelemahan Engkong Felix adalah "tulis dan langsung tayang".  Setelah tayang, barulah dibaca kembali, dan ketahuan kualitasnya sampah dan dangkal.  Belum lagi wabah typosialant yang menyakiti kata-kata dalam artikel.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun