"Tolonglah, Pak. Â Kalau artikel ini tak bisa terbit, Â tak bisalah aku jadi Guru Besar," katanya penuh harap.
"Saya baca dulu, Pak. Â Besok kita ketemu lagi," kataku.
Besoknya kami berdua berhadap-hadapan di ruang kerjaku. "Maaf, Pak. Â Banyak yang harus Bapak perbaiki pada artikel ini," kataku sambil mengembalikan naskahnya yang penuh coret-moret dariku.
"Waduh. Â Artikelku macam sampah rupanya," katanya sambil tertawa ngakak.
"Bapak sendiri yang ngomong begitu," kataku sambil tertawa.
Dia menghabiskan waktu selama dua hari untuk memperbaiki artikelnya sesuai masukanku. Karena  bersungguh-sungguh, dan mau menerima "kesampahan" artikelnya, dia berhasil menulis-ulang artikelnya hingga mencapai kualitas layak publikasi di jurnal.
Pada satu hari setelah sekian waktu berlalu dari peristiwa , saya mendapat telepon ucapan terimakasih dari orang itu. Â Dia sudah menerima SK Guru Besar.
***
Kisah yang sangat berbeda kualami di Kompasiana.
Di blog sosial ini, orang sangat alergik pada frasa "artikel sampah" dan "artikel dangkal". Â Frasa macam itu dianggap merendahkan, atau menghina, penulis artikel. Tidak menghargai jerih-payah penulisnya.
Betulkah begitu? Tergantung sudut pandangnya. Â Sejauh dari hati yang jujur, saya tidak melihat frasa seperti itu sebagai penghinaan. Tapi sebuah bentuk keperdulian, didasari niat baik agar penulis kerja lebih keras lagi untuk menulis artikel yang "bukan sampah"