Tak terpikir oleh Poltak untuk menyinggung perasaan Berta. Â Dia hanya bersenandung. Spontan.
Kata-kata Berta mengingatkannya pada umpasa Batak, "Dangka do dupang, amak do rere. Ama do tulang, anak do bere." Â Dahan adalah cabang, tikar adalah lapik. Paman adalah ayah, ponakan adalah anak."
"Awas! Lebah masuk mulutmu!" Berta meledek, tertawa geli, lalu berlari meniti pematang sampai ke tepi pekarangan rumah. Â "Awas kau, Berta!" Poltak berlari mengejar. Â Ikut tertawa.
"Berta! Jangan main saja! Ajak Poltak makan kue taon baru itu!" Rumiris berteriak mengingatkan dari dalam rumah.
"Ada kue apa, Berta," tanya Poltak.
"Macam-macam. Ayo, naik ke rumah."
Di atas meja ruang tamu tersedia kue-kue dalam toples. Â Ada sasagun, kembang goyang, kue bawang, kue semprit, dan lampet.Â
Poltak menyendok sasagun ke tapak, piring kecil. Lalu mulai menikmati makanan gongsengan khas Batak yang terbuat dari campuran tepung beras, kelapa parut, dan gula pasir itu. Â
Berta beranjak ke dapur dan kembali dengan dua gelas sirop markisa hangat di atas talam. "Makan yang banyak, Poltak."
"Sudah. Sudah banyak," jawab Poltak spontan dan celaka sudah. Sasagun ikut tersembur dari mulutnya. Membuat Berta terpingkal-pingkal geli.
Sasagun itu sagon dalam bentuk tepung gongseng. Disebut juga kue hohom, diam daat makan. Sebab kalau makan sambil buka mulut bicara, tepung sasagun akan menyembur keluar mulut. Itulah yang terjadi pada Poltak.