Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #085] Tahun Baru di Rumah Pariban

11 Januari 2022   22:25 Diperbarui: 11 Januari 2022   22:32 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kolase foto oleh FT (Foto: kompas.com/dok. istimewa)

"Langsung pulang, ya. Jangan lama-lama di sana." 

"Olo, Ompung."

Poltak diingatkan neneknya. Agar tak terlalu lama di Sisorbinanga. Di rumah Berta, paribannya.

"Nanti siang ompungmu yang di Bedagai datang martaon baru." 

"Olo, Ompung."

Poltak menggantungkan panci dalam bungkus taplak meja di stang sepeda Isinya lauk saksang,  tanggo-tanggo, dan nasi putih.  Istilah adatnya lompan juhut dohot indahan na las. Atau sipanganon na tabo, makanan yang enak.

Kemarin neneknya mengambil tiga bagian binda, urunan potong pinahan lobu, babi, untuk menyambut Tahun Baru di Panatapan.

"Tulangmu, Ama Rumiris. Katanya dia rindu makan masakan Ompung," jawab neneknya, ketika Poltak menanyakan tiga bagian binda itu.

"Oi, mau kemana kau Poltak!" Bistok berteriak saat Poltak lewat mengayuh sepeda di depan rumahnya.

"Ke rumah Berta!"

"Bah. Hebat kalilah kau, Poltak. Malam sama Rauli! Pagi sama Berta!"  

Poltak tak menjawab. Hanya tersenyum simpul. 

Dari mulut jalan kampung, Poltak belok kanan ke jalan raya. Mengayuh ajeg sepedanya. Laju menuju Sisorbinanga, Hutabolon.

Jalan raya Trans-Sumatera agak lengang pagi itu. Tak banyak kendaraan lewat. Mungkin karena Tahun Baru. Orang Batak berkumpul di rumah keluarga besar masing-masing.

Tanpa sadar Poltak bersiul. Melantunkan refrain lagu Mardalan Ahu Marsada-sada, gubahan Tilhang Gultom, pendiri kelompok opera Serindo. 

Serindo adalah kelompok opera Batak  tertua dan paling terkenal di Sumatera Utara. Kelompok sandiwara itu mementaskan kisah-kisah mitologis, legenda, dan sejarah Batak, berkeliling dari kota ke kota di Tanah Batak dan Sumatera Timur.

"Ulushon ulushon ulushon au alogo
 Sahat tu huta ni da tulang
 Di luat na dao
 Pos ma roha ni da tulang tibu do au ro
 Sian tano Panatapan di luat na dao"

"Bawalah bawalah bawalah aku angin
Sampai ke kampung pamanku
Di tanah yang jauh
Yakinlah paman aku segera datang
Dari kampung Panatapan di rantau nan jauh"

Poltak secara sadar telah mengganti dua kata dalam syair lagu itu. Kata inang, ibu diganti tulang, paman. Kata parjalangan, perantauan diganti Panatapan.

Terasakan cepat untuk Poltak, dia sudah tiba di mulut jalan setapak menuju rumah Berta. Rumah itu terlihat kecil di lembah Sosorbinanga sana. Jalan setapak itu menyusur diagonal tebing sampai ke dasarnya, ke badan sungai Binangabolon.

Poltak menuntun sepedanya pelan-pelan turun ke bawah.  Harus hati-hati. Kalau tidak, bisa terjun ke dasar tebing menjemput malaikat maut.

Tiba di dasar tebing, Poltak menuntun sepedanya menyeberangi sungai. Lalu meniti pematang sawah sampai ke halaman rumah Berta.

"Poltak!" 

Suara yang tak asing untuk Poltak. Dia menoleh ke arah jendela, titik asal panggilan itu. Di sana, di dalam bingkai jendela, ada Berta tersenyum lebar, sumringah, ceria.

"Siapa itu, Berta?" Terdengar teriakan tanya dari arah dapur. 

"Poltak, Inong!"

"Suruh masuk, dodong kalilah kau!" 

Berta berlari membuka pintu. Di belakangnya Nai Rumiris, ibunya, dan Rumiris, kakaknya, menyusul. 

"Selamat Taon Baru, Nantulang." 

Poltak naik ke rumah. Menyalami nantulangnya, Rumiris, dan Berta.

"Ada kiriman sipanganon dari Ompung," lanjut Poltak, sambil mengangsurkan bungkusan sipanganon, makanan kepada nantulangnya.

"Ei, bere. Kau rupanya. Bawa apa kau itu." Ama Rumiris keluar dari dapur, menyapa Poltak, bere, keponakannya.

"Sipanganon dari Ompung. Katanya tulang rindu masakan Ompung."

"Hahaha. Ompungmu baik kalilah pada tulang, Poltak," sambut Ama Rumiris senang. "Inang ni butet, aku ke sungai dulu.  Mau angkat bubu," lanjutnya sambil bergegas menuruni tangga.

"Aku ikut, Tulang."

"Ayo."

"Aku ikut juga." Berta tak mau ditinggal Poltak.

Bertiga Ama Rumiris, Poltak, dan Berta beriring meniti pematang membelah hamparan sawah yang baru lepas tanam padi. Tujuannya sungai Binangabolon, tempat Ama Rumiris memasang bubu, lukah perangkap ikan.  

"Kalian tunggu di bantaran sini, ya."

"Olo, Tulang."

Ama Rumiris turun ke aliran sungai. Dia berjalan menuju bagian yang dalam dengan arus bawah deras. Di situ, di dasar sungai, telah dipasangnya bubu.

"Ha, kau beruntung, Poltak!" seru Ama Rumiris sesaat setelah mengangkat bubu dari dalam air. Wajahnya berseri-seri. Senyumnya merekah memamerkan larik gigi serinya.

"Bah. Banyak kali dapatnya, Tulang."  Poltak membalas antusias.

Di dalam bubu itu terlihat bergeleparan ikan-ikan yang terperangkap. Ada empat ekor ihan, Neolissochilus thienemanni, ikan Batak. Selebihnya ikan pora-pora, Mystacoleucus padangensis. 

"Ayo. Kita pulang."  Berkata demikian, Ama Rumiris segera bergegas. Meninggalkan Poltak dan Berta di belakang.

"Ayo pulang, Berta. Kau jalan di depanlah," ajak Poltak.

Keduanya meniti pematang sawah, santai, kembali menuju rumah yang tak seberapa jauh.

Sambil berjalan, Poltak spontan bersenandung. "Pangeol-eolmi solu. Solu na di tonga tao.  Molo matipul holemi solu. Maup hudia nama ho. Pangeol-eolmi boru. Boru na so mariboto. Molo mate amantai boru. Maup hudia nama ho."

Itu andung-andung, senandung ratapan, karya Tilhang Gultom dalam lakon Si Boru Tumbaga yang selalu dimainkan kelompok opera Serindo dalam tiap pertunjukannya.  Senandung itu mencemaskan nasib anak perempuan yang tak punya saudara laki-laki.  

"Gemulai engkau biduk. Biduk di tengah danau. Bila dayungmu patah biduk. Kemana gerangan engkau hanyut. Gemulai engkau putri. Putri tanpa saudara laki.  Bila ayahanda berpulang. Kemana gerangan engkau bersandar."

Dalam masyarakat Batak lama, jika seorang ayah tidak dikarunia anak laki-laki, hanya anak perempuan, maka harta-bendanya akan dikuasai saudara laki-lakinya saat dia meninggal dunia. 

Berta hanya dua bersaudara perempuan dengan Rumiris, kakaknya.  Senandung itu, tanpa disadari Poltak, mengena pada dirinya.

"He, Poltak.  Itulah gunanya pariban.  Jadi sandaran."  Berta tiba-tiba menjawab senandung Poltak.

"Hah?"  Poltak kaget.  Mulutnya ternganga.  

Tak terpikir oleh Poltak untuk menyinggung perasaan Berta.  Dia hanya bersenandung. Spontan.

Kata-kata Berta mengingatkannya pada umpasa Batak, "Dangka do dupang, amak do rere. Ama do tulang, anak do bere."  Dahan adalah cabang, tikar adalah lapik. Paman adalah ayah, ponakan adalah anak."

"Awas! Lebah masuk mulutmu!" Berta meledek, tertawa geli, lalu berlari meniti pematang sampai ke tepi pekarangan rumah.  "Awas kau, Berta!" Poltak berlari mengejar.  Ikut tertawa.

"Berta! Jangan main saja! Ajak Poltak makan kue taon baru itu!" Rumiris berteriak mengingatkan dari dalam rumah.

"Ada kue apa, Berta," tanya Poltak.

"Macam-macam. Ayo, naik ke rumah."

Di atas meja ruang tamu tersedia kue-kue dalam toples.  Ada sasagun, kembang goyang, kue bawang, kue semprit, dan lampet. 

Poltak menyendok sasagun ke tapak, piring kecil. Lalu mulai menikmati makanan gongsengan khas Batak yang terbuat dari campuran tepung beras, kelapa parut, dan gula pasir itu.  

Berta beranjak ke dapur dan kembali dengan dua gelas sirop markisa hangat di atas talam. "Makan yang banyak, Poltak."

"Sudah. Sudah banyak," jawab Poltak spontan dan celaka sudah. Sasagun ikut tersembur dari mulutnya. Membuat Berta terpingkal-pingkal geli.

Sasagun itu sagon dalam bentuk tepung gongseng. Disebut juga kue hohom, diam daat makan. Sebab kalau makan sambil buka mulut bicara, tepung sasagun akan menyembur keluar mulut. Itulah yang terjadi pada Poltak.

Saat Poltak hendak pulang, Nai Rumiris mengembalikan panci berbungkus taplak meja. "Poltak, ini ihan natinombur untuk ompungmu. Sampaikan terimakasih dari tulang dan nantulang, ya."

"Mauliate, Nantulang. Mauliate, Tulang."

Nai Rumiris dan Ama Rumiris membalas makanan juhut, daging babi pemberian nenek Poltak, dengan lauk ikan  Batak.

Memang demikianlah adatnya. Nenek Poltak sebagai boru memberi makanan juhut, tanda keberhasilan,  kepada Ama Rumiris selaku hula-hula yang memberkati. Lalu Ama Rumiris membalas dengan memberi lauk ikan, simbol berkah rezeki untuk boru.

"Poltak!" Berta berteriak dari tepi halaman rumah, saat Poltak sudah menyeberangi Binangabolon.

"Apa!" balas Poltak berteriak juga.

"Jangan kau makan ikan itu di jalan!"

"Bodat kau Berta! Kau pikir aku kucing?" Tak urung terbit juga liurnya. (Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun