Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Malaikat Datang di Hari Minggu

28 November 2021   14:20 Diperbarui: 28 November 2021   15:02 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari piamanexplore.com

"Malaikat rupawan dengan busana dan sayap putih bercahaya turun dari langit hanya ada dalam imaji orang beriman dangkal." -Felix Tani

Dia, malaikat itu, ada di dekatmu. Bukan di langit jauh sana. Kepekaan imani, itu saja yang dibutuhkan untuk menyadari dan mengenalinya. 

Barangkali, dia adalah perempuan atau lelaki yang tidur seranjang denganmu saban malam. Atau gadis kecil, atau jejaka cilik, yang tiap hari kau antar-jemput ke sekolah.

Atau bisa saja dia tetanggamu yang sehari-hari menyebalkan. Karena gemar menyetel musik berdebam-debum persis di seberang kamar tidurmu.

Mungkin juga dia seseorang yang tak kau kenal sebelumnya. Seseorang muncul begitu saja dalam hidupmu. Lalu pergi dengan cara yang juga begitu saja.

Kau mungkin tak pernah menyadari kehadiran malaikat-malaikat tak bersayap itu. Sampai suatu ketika kau dirundung masalah, dan mereka datang mengulurkan tangannya padamu.

***

Kepekaan imani dan, tentu saja, kerendahan hati. Itulah syarat untuk bisa menyadari, mengenal, dan menerima kehadirannya.

Satu saduran anekdot dari Anthony de Mello mungkin bisa memberi pengertian.

Dalam suatu bencana air bah, seseorang terjebak di menara gereja, di tengah kepungan air. "Tuhan, kirimkanlah malaikatmu untuk menolong hambamu," doanya dalam ketakutan.

Lalu, tetangga yang dibencinya, lewat berperahu di situ dan menawarkan tumpangan. Tapi dia menolaknya.

Lewat pula perahu teman sekantor yang pernah menelikungnya dan, kemudian, mantan atasan yang pernah memecatnya. Keduanya menawarkan pertolongan. Tapi dia menolaknya.

Saat ketinggian air sudah mencapai dagunya, dia berteriak dengan nada murtad kepada Tuhan. "Tuhan! Kau tak perduli lagi pada umatmu ini!"

"Hei," tiba-tiba terdengar suara dari langit, "Aku sudah kirim tiga malaikat penolong. Tapi kamu menolak mereka."

Anekdot itu adalah antitesis perumpamaan "Orang Samaria yang Baik Hati". Perumpamaan ini disampaikan Yesus kepada orang Yahudi untuk menjawab pertanyaan "Siapakah sesamaku?"

Dikisahkan seorang Yahudi dirampok dan dianiaya penyamun dalam perjalanan dari Yerikho ke Yarusalem. Dua orang Yahudi, seorang imam dan seorang lagi suku Levi, yang lewat di situ enggan menolongnya.

Sampai kemudian lewat seorang Samaria yang dianggap rendah dan dibenci orang Yahudi. Tak disangka, justru orang Samaria itulah yang menolong dan menyelamatkan hidupnya.

Dengan perumpamaan itu, sangat jelas siapa sejatinya sesama. Atau, dari kacamata iman, tampak siapa malaikat penolong.

***

Dari anekdot dan perumpamaan di atas, saya mendapat pemahaman imani bahwa Tuhan dapat mengirim malaikatnya dalam rupa siapa saja. Entah itu seseorang yang saya kenal, atau tak kenal sama sekali. Orang saya kasihi, atau mungkin yang saya benci.

Satu kejadian tahun 1975,  sewaktu  bersekolah di Seminari Menengah Pematang Siantar, telah menguatkan keyakinan itu.

Saya dengan seorang teman sekelas, kini seorang pastor,  pada suatu pagi di hari Minggu berjalan-jalan ke kawasan Siantar Sawah. Kami menyusuri jalan desa di bantaran saluran primer irigasi.

Saluran irigasi itu, karena faktor elevasi, pada titik-titik tertentu membentuk air terjun. Karena hari sudah mulai terik, kami berdua memutuskan mandi di saluran. Kami pilih air terjun tertinggi, sekitar 5 meter, dan langsung terjun bugil ke lubuk di bawahnya.

Karena terlalu asyik, saya tidak sadar sudah masuk ke area pusaran air terjun. Tanpa ampun tubuh kecilku langsung tersedot pusaran ke dasar saluran, lalu terangkat ke atas, untuk kemudian tersedot lagi. 

Demikian terjadi berkali-kali. Saya tak kuasa melepaskan diri dari pusaran air. Hanya bisa berteriak-teriak minta tolong pada teman yang hanya diam tanpa respon. 

"Matilah aku." Saya masih sempat membatin di tengah keputus-asaan.

Tiba-tiba, entah dari mana,  seorang lelaki paruh-baya muncul dan mengulurkan batang pohon ki hujan untuk saya tangkap. Tangkapan pertama gagal. Tangkapan kedua, setelah muncul dari dasar lagi, berhasil. 

Saya ditarik naik ke bantaran saluran. Selamatlah nyawa seorang seminaris, calon pastor, di pagi hari yang cerah itu.

"Minggu lalu baru saja meninggal seorang warga kampung ini di situ." Lelaki penolong yang tak saya kenal itu memberi tahu.

"Lain kali," nasihatnya, "kalau masuk pusaran air, kamu harus menyelam di dasarnya mengikuti arus keluar pusaran."

"Mauliate godang, amang." Itu saja yang bisa terucap dari mulutku. Jantungku masih berdegup kencang, ketakutan. Baru sedikit reda setelah mendaraskan doa "Bapa Kami" dalam hati.

"Kenapa kau diam saja tak menolong?" Saya menggugat teman seperjalanan. "Bah, kupikir tadi kau main-main," jawabnya polos, tapi ada nada sesal.

***

Tuhan telah mengirim malaikatnya dalam rupa seorang lelaki paruh baya untuk menolongku dari marabahaya. Seandainya lelaki itu tidak hadir pada waktu yang tepat, artikel ini tidak akan pernah ada. 

Bagi saya, lelaki itu adalah malaikat, atau mungkin pahlawan, yang hadir di hari Minggu yang cerah waktu itu.  Saya tak pernah mengenalnya, sebelum kejadian itu, bahkan setelah dia menyelamatkan nyawaku. Waktu itu, setelah menasihati, dia pergi begitu saja masuk hutan kecil di sisi lain saluran irigasi.

Tuhan menghadirkan malaikat-malaikatnya di dekat kita. Dalam rupa orang-orang terkasih dan orang-orang terbenci. 

Barangkali itu makna sabda Yesus, "Kasihilah musuhmu seperti engkau mengasihi dirimu sendiri."  Sebab suatu ketika, musuh yang kau benci, yang mungkin kau tak kenal siapa dia sejatinya, suatu saat bisa saja hadir sebagai malaikat yang menolongmu keluar dari kesusahan. 

Mungkin dia, malaikat itu, tidak datang di hari Minggu, tapi di hari lain. Kau tak akan pernah tahu saatnya. (eFTe)

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun