Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Malaikat Datang di Hari Minggu

28 November 2021   14:20 Diperbarui: 28 November 2021   15:02 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari piamanexplore.com

Saya dengan seorang teman sekelas, kini seorang pastor,  pada suatu pagi di hari Minggu berjalan-jalan ke kawasan Siantar Sawah. Kami menyusuri jalan desa di bantaran saluran primer irigasi.

Saluran irigasi itu, karena faktor elevasi, pada titik-titik tertentu membentuk air terjun. Karena hari sudah mulai terik, kami berdua memutuskan mandi di saluran. Kami pilih air terjun tertinggi, sekitar 5 meter, dan langsung terjun bugil ke lubuk di bawahnya.

Karena terlalu asyik, saya tidak sadar sudah masuk ke area pusaran air terjun. Tanpa ampun tubuh kecilku langsung tersedot pusaran ke dasar saluran, lalu terangkat ke atas, untuk kemudian tersedot lagi. 

Demikian terjadi berkali-kali. Saya tak kuasa melepaskan diri dari pusaran air. Hanya bisa berteriak-teriak minta tolong pada teman yang hanya diam tanpa respon. 

"Matilah aku." Saya masih sempat membatin di tengah keputus-asaan.

Tiba-tiba, entah dari mana,  seorang lelaki paruh-baya muncul dan mengulurkan batang pohon ki hujan untuk saya tangkap. Tangkapan pertama gagal. Tangkapan kedua, setelah muncul dari dasar lagi, berhasil. 

Saya ditarik naik ke bantaran saluran. Selamatlah nyawa seorang seminaris, calon pastor, di pagi hari yang cerah itu.

"Minggu lalu baru saja meninggal seorang warga kampung ini di situ." Lelaki penolong yang tak saya kenal itu memberi tahu.

"Lain kali," nasihatnya, "kalau masuk pusaran air, kamu harus menyelam di dasarnya mengikuti arus keluar pusaran."

"Mauliate godang, amang." Itu saja yang bisa terucap dari mulutku. Jantungku masih berdegup kencang, ketakutan. Baru sedikit reda setelah mendaraskan doa "Bapa Kami" dalam hati.

"Kenapa kau diam saja tak menolong?" Saya menggugat teman seperjalanan. "Bah, kupikir tadi kau main-main," jawabnya polos, tapi ada nada sesal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun