Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #079] Perginya Seorang Pahlawan Kecil

10 November 2021   06:42 Diperbarui: 10 November 2021   08:21 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senin, 21 Agustus 1972.  Sebuah pagi yang terasa janggal di ruang kelas lima SD Hutabolon.  Bukan karena perban yang menutup lebam di mata kiri Poltak. Akibat terpaaan ketupat Bangkahulu dari Polmer. Bukan.  

Terasa janggal karena ketakhadiran Poibe, Polmer, Risma, dan Saur. Anak-anak kampung Portibi. Itu tidak biasa.

"Teng. Teng. Teng. Teng. Teng. Teng. Teng." Terdengar dentang lonceng dari menara gereja HKBP, tempat murid-murid kelas satu, dua, dan tiga belajar.

"Tujuh kali," bisik Poltak pada Jonder. Wajahnya kecut. Itu bilangan dentang lonceng penanda kematian anak kecil. Orang dewasa sembilan kali.

Bergegas, tiba-tiba  Guru Gayus masuk ke dalam kelas. Minta ijin bicara kepada Guru Harbangan.  

"Anak-anakku," sapa Guru Gayus, tanpa senyum seperti biasanya.  Suasana kelas hening. "Pagi ini kita semua ke rumah Polmer di Portibi. Kita akan mengantar Polmer ke peristirahatan terakhir.  Polmer telah pergi. Dia dipanggil Tuhan tadi malam. "

Kesedihan menyergap kelas lima SD Hutabolon.  Murid-murid perempuan menangis. Murid-murid lelaki diam, mematung. Semua tak hendak percaya Polmer telah tiada. 

Poltak tertunduk. Sedih tak kepalang. Setelah Binsar dan Bistok, Polmer adalah teman karib untuknya.  Dengan segala kekurangannya, juga kelebihannya, Polmer adalah sahabat setia untuk Poltak.  Sahabat yang selalu siap membelanya dari serangan fisik siapa pun. Walau Poltak tak butuh dibela seperti itu.

Kenangan terakhir dari Polmer untuk Poltak. Kamis, 17 Agustus 1972, di Lapangan Pagoda Parapat.  Bogem kanan Polmer mendarat telak di mata kiri Poltak yang berusaha mencegah perkelahian dengan Gogo.  Setelah Poltak siuman dari pingsan, Polmer memeluknya erat dengan mata berkaca-kaca.  Itulah cara dia memohon maaf.

"Anak-anak, pagi ini kelas ditiadakan.  Kita semua pergi melayat Polmer."  Guru Harbangan mengajak semua murid kelas lima mengantar Polmer ke tempat peristirahatan terakhir.

Murid-murid kelas lima beranjak dengan malas.  Melayat tak pernah meringankan langkah.  Itu perjalanan yang paling menyedihkan bagi Poltak dan teman-temannya. 

"Seandainya bisa, Tuhan, kami tak sekalipun melayat teman yang berpulang," bisik Poltak dalam hati.  

Rumah Polmer, Kampung Portibi, adalah rumah sarat duka pagi itu.  Inong, among, dan dua orang adiknya duduk di dekat kepala Polmer yang terbaring damai di dalam peti jenazah.  Ratapan sedih, dan air mata, tak henti dari inong dan adik-adiknya. 

Saur, teman sepermainan Polmer, menceritakan apa yang telah terjadi.  Polmer jatuh dari pohon jengkol setinggi sepuluh meter pada hari Sabtu, sore, dua hari yang lalu. Dia membantu orangtuanya panen jengkol karena sore itu ada toke jengkol mampir ke Portibi.  

Polmer jatuh dengan posisi kepala menghantam tanah. Sebenarnya, beberapa saat setelah jatuh, Polmer langsung bangkit berdiri, seolah tak terjadi apa pun. Tapi, malam harinya, Polmer mulai demam dan mengeluh sakit kepala.  

Demamnya semakin parah sepanjang hari Minggu. Orangtuanya berencana membawa Polmer berobat ke klinik di Parapat besok harinya, Senin.

Tapi Tuhan berkehendak lain. Senin dini hari, tepat pada kokok ayam yang pertama kali, malaikat-Nya datang menjemput Polmer.  

Samson kecil itu, pahlawan SD Hutabolon, telah pergi meninggalkan keluarga dan teman-temannya. Dialah pahlawan kemenangan SD Hutabolon dalam pertandingan sepakbola melawan SD Sibigo.  Dia pula pahlawan kemenangan SD Hutabolon dalam pertandingan tarik tambang melawan SD Pardomuan empat hari lalu.

"Ale amang, ale inang," Guru Gayus menyapa bapak dan ibu Polmer. Guru Harbangan dan murid-murid kelas lima berdiri di belakangnya.

"Teman-teman sekelas Polmer di kelas lima SD Hutabolon, serta kami berdua gurunya, hadir di sini untuk menyampaikan duka-cita mendalam atas berpulangnya ananda Polmer," lanjut Guru Gayus. "Dalam usianya yang teramat pendek, Polmer sudah berbuat banyak untuk sekolahnya. Dia adalah pahlawan untuk SD Hutabolon. Kami semua ... sangat kehilangan dia."

"O ale Polmer, anak hasianku. Lihatlah, teman-temanmu sudah datang.  Kau sapalah mereka. Jangan diam saja kau, hasian." Ibu Polmer meratap, menyela  Guru Gayus. 

"Sabarlah, inang. Sabarlah," Guru Gayus membujuk ibu Polmer. "Untuk mengenang Polmer," lanjutnya, "sekaligus mengantarnya ke peristirahatan terakhir, ijinkanlah kami menyanyikan sebuah lagu."

Guru Gayus segera balik badan menghadap ke arah murid-murid kelas lima.  "Kita nyanyikan Nang Gumanlunsang Angka Laut," ajaknya. "Alogo, Berta, seperti biasa di Sekolah Minggu, kalian jadi solis."  

Lalu sebuah koor indah dengan suara bening anak-anak mengalun merdu. [1]

Nang gumalunsang angka laut.
Nang rope halisungsung i.
Laho mangharomhon solukki.
Molo Tuhan parhata saut.
Mandok hata na ingkon saut.
Sai saut doi, sai saut doi, sai saut doi.

[Walaupun samudera bergelora.
Sekalipun topan badai melanda.
Tuk menenggelamkan bidukku.
Bila Tuhan berkata jadilah.
Maka sabda-Nya pasti terjadi.
Pasti terjadi, pasti terjadi, pasti terjadi.]

Ndang be mabiar ahu disi.
Mangalugahon solukki.
Ai Tuhanku donganki.
Ai tung godang pe musukki.
Lao mangharomhon solukki.
Sai lao do i, sao lao do i sian lambungki.

[Tiada lagi aku takut.
Mendayung bidukku.
Sebab Tuhanku besertaku.
Sekalipun banyak musuhku.
Hendak menenggelamkan bidukku.
Pasti pergi, pasti pergi dari sisiku.]

Hatop marlojong do solukku tu labuhan na sonang.
Naso adong be dapot hasusahan i.
Tudos tu si nang pardalananki.
Laho mandapothon surgo i.

[Laju cepat bidukku ke labuhan bahgia.
Tempat tiada lagi kesusahan.
Ibarat itulah perjalananku.
Tuk menemukan surga.]

Sipata naeng lonong do ahu.
So halugaan galumbang i.
Tudia ma haporusanki.
Ingkon hutiop tongtong Jesus i.

[Terkadang aku hampir karam.
Tak kuasa melawan gelombang.
Kemanakah ku kan berlindung.
Hanya Engkau Yesus peganganku.]

Ditogu-togu tanganki.
Di dalan na sai maol i.
Di parungkilon hasusaan.
Tung Jesus haporusanki.
Nang pe di dalan lao tu surgo,
Di iring Jesus ahu disi.

[Dituntun-Nya tanganku.
Di jalan mahasukar.
Dalam duka dan susah.
Hanya Yesus pengaduanku.
Pun di jalan menuju surga.
Yesus setia menemaniku.]

Tak mudah bagi Poltak menyanyikan lagu itu. Kenangannya tentang Polmer berputar seperti film dalam ingatan. Perkelahian Polmer dengan Bistok, selebrasinya dalam pertandingan sepakbola, kemarahannya dalam pertandingan tarik tambang, bogem kerasnya ke mata  Poltak, dan sepasang ingusnya yang menyimpan misteri kekuatan.

Polmer mate dakdanak, meninggal dunia dalam usia kanak-kanak.  Upacara adat kematiannya sangat sederhana. Tulang,  saudara laki kandung ibunya, menutupkan sehelai ulos pada jenazahnya. Itu saja.

Selanjutnya acara liturgi pemakaman. Di rumah dan di pemakaman. Dipimpin oleh Pendeta HKBP Hutabolon.

Di pemakaman, di atas bukit di pinggir kampung, alam turut berduka untuk Polmer. Cuaca mendung sempurna.  Awan hitam menggantung rendah  di langit. Renyai mulai turun.

"Tuhan Allah membentuk manusia dari debu tanah. Dia menghembuskan nafas hidup ke dalam hidupnya. Demikianlah manusia itu menjadi mahluk yang hidup." Pendeta membacakan ayat penciptaan manusia dari Buku Kejadian.

"Namun pada waktunya, setiap manusia harus kembali kepada Sang Pencipta," lanjutnya.

Gerimis menyiram bumi. Dua orang memotong daun-daun pisang di kebun dekat pemakaman. Lalu dibagikan kepada para pelayat untuk tudung kepala.

Polmer dalam peti jenazahnya diturunkan ke dalam liang lahat.

Sambil melemparkan tanah ke dalam liang lahat, Pendeta menyerahkan Polmer ke rahim pertiwi, ke kerahiman Allah seru sekalian alam, “Yang berasal dari tanah kembali kepada tanah, yang dari debu kembali kepada debu."  

"Semoga berkat dari Allah Bapa dan Anak dan Roh Kudus beserta saudara sekalian. Amin." 

Hujan tumpah deras mengguyur bumi. Itulah hujan lebat pertama di bulan Agustus. Alam menyambut Polmer dengan kesegaran air langit.

Poltak dan teman-temannya riuh berlarian meninggalkan area pemakaman. Berpayungkan daun pisang menembus lebat curah hujan. 

"Anak-anak! Semua kembali ke sekolah!" teriak Guru Harbangan. (Bersambung)

[1] Teks lagu Nang Gumalunsang Angka Laut ini ada juga dalam artikel Felix Tani, "Walau Samudera Bergelora, Teguh Kudayung Bidukku" (K. 07/03/2021)


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun